Senin 29 Sep 2014 14:53 WIB

Ini Sejarahnya Presiden tak Bisa Lagi Batalkan UU

Rep: c87/ Red: Esthi Maharani
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mengakui ditelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Ahad (28/9) sore. Meski presiden menyampaikan kekecewaannya, tetapi Hamdan menegaskan Presiden tak punya hak prerogatif untuk membatalkan UU tersebut.

Ia mendasarkan hal tersebut pada amandemen UUD 1945 terutama pasal 20 ayat (5). Disebutkan, dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Dia mencontohkan pengesahan UU tentang Kepulauan Riau. Saat itu Presiden Megawati tidak memberikan tanda tangan untuk mengesahkan UU tersebut.

"Berdasarkan pasal 20 ayat 5 UUD 1945, ditandatangani atau pun tidak ditandatangani presiden, UU itu otomatis berlaku," terang Hamdan, Senin (29/9).

Hamdan menjelaskan latar belakang lahirnya pasal 20 ayat 5 UUD 1945. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ada UU yang sudah disepakati dalam rapat paripurna DPR. Tapi presiden tidak tanda tangan. Sehingga UU itu tidak berlaku.

Kemudian pemerintahan Presiden Habibie tahun 1999, ada UU dalam keadaan bahaya yang pada saat itu presiden tidak tanda tangan. Sehingga UU itu pun tidak berlaku.

Oleh sebab itu, pada perubahan UUD 1945, dipertegas dalam pasal 20 ayat 5. Pasal tersebut menyatakan dalam waktu 30 hari setelah keputusan diambil dalam sidang paripurna, ditandatangani atau tidak oleh presiden, UU itu otomatis berlaku.

"Saya sendiri ikut menyusun UUD itu. Itu yang saya sampaikan pada presiden makna pasal 20 ayat 5," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement