REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berbagai pihak baik lembaga maupun perseorangan bergabung untuk mengajukan judicial review (uji materi) Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, hasil uji materi itu nantinya akan tergantung dari cara pandang atau cara berpikir hakim konstitusi.
“Kalau cara berpikir hakim konstitusi itu tidak bergerak dari tahun 2000, maka nggak ada harapan. Tapi kalau dia melihat konstitusionalisme itu barang yang dinamis dan barang yang bisa bergerak, maka kita ada harapan,” kata Refly saat ditemui dalam aksi menolak UU Pilkada di Bundaran HI, Ahad (28/9).
Refly mengatakan, sejak tahun 2000, masalah konstitusionalisme sudah ditulis oleh MK sendiri. Salah satu hal yang diatur adalah tentang calon independen. Calon independen berasal dari perseorangan, tidak didukung partai politik. Artinya, calon ini benar-benar didukung oleh masyarakat dengan dukungan KTP dan sebagainya.
Refly mempertanyakan bagaimana nantinya MK akan mempertanggungjawabkan pernyataan bahwa Pilkada yang tidak ada calon perseorangan adalah Pilkada yang inkonstitusional. Pasalnya, dengan dipilihnya kepala daerah oleh DPRD, secara otomatis tidak aka nada calon independen.
“Dengan mekanisme DPRD nggak mungkin. Tidak mungkin calon perseorangan, calon independen itu kemudian diusung,” kata dia.
Jika kemudian ditentukan calon independen dalam mekanisme Pilkada oleh DPRD, hal ini dianggap Refly akan menjadi dagelan politik. Ini juga dinilai tidak adil, karena yang memilih bukan masyarakat. Oleh karena itu, akan sangat aneh jika nantinya dalam sistem perpolitikan dunia tiba-tiba muncul usulan dari masyarakat, namun dipilih oleh DPRD.
“Itu dagelan namanya,” kata Refly.