REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan jika rapat paripurna yang diselenggarakan oleh DPR untuk menetapkan UU Pilkada terbukti melanggar konstitusi baik secara adab secara adab maupun moral, Presiden sah-sah saja boleh menyatakan tidak setuju dengan UU yang disahkan lewat rapat tersebut.
"Asal fakta itu kuat," kata Refly saat ditemui di Bundaran Hotel Indonesia (HI) Ahad (29/6).
Pelanggaran konstitusi yang dimaksud di antaranya bahwa rapat itu sengaja didesain, sengaja melibatkan aktor-aktor politik tertentu, ada money politik di dalamnya untuk mengelabui Presiden, atau tidak memberikan informasi yang benar kepada Presiden.
"Nah kalau memang dibuktikan adanya penyesatan (Presiden), ada kemudian politik uang di sana, kemudian ada upaya untuk melokalisir Presiden dalam perdebatan ini, maka saya katakan sah-sah saja SBY menyatakan tidak setuju," kata dia.
Nantinya, kata Refly, apabila terbukti ada pelanggaran konstitusi, akan terjadi juga perdebatan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan konstitusional. Misalnya, ketika kubu koalisi Merah Putih membawa persoalan ini ke MK.
"Nanti perkara kemudian ribut, biar MK yang akan menilai apakah RUU Pilkada ini sah untuk disetujui atau tidak," kata Refly.
Melalui langkah ini, nantinya akan terjadi dua perdebatan di MK. Pertama, terkait dengan sengketa kewenangan konstitusional. Kedua, judicial review atau peninjauan kembali substansi pilkada tidak langsung.
Refly juga mengajak masyarakat untuk mencari informasi jika terjadi politik uang atau disinformasi dalam proses rapat paripurna yang telah berlangsung.