REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Oce Madril, menagih konsistensi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) soal mudahnya terpidana korupsi mendapatkan remisi.
Tagihan itu menyusul wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memasukkan klausul larangan mendapatkan remisi bagi terda-kwa dan terpidana korupsi dalam tuntutan tambahan.
"Seharusnya nggak perlu ditambahkan dalam tuntutan. Karena itu sudah ada aturannya," kata dia, saat dihubungi, Ahad (28/9).
Oce menjelaskan, soal hak pemberian potongan be-bas itu sudah ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 9 tahun 2011.
Kata dia, aturan tersebut hanya justice collaborator yang punya hak mendapatkan remisi. Karena itu, jika terdakwa maupun terpidana yang tidak bisa bekerjasama membongkar praktik korupsi terkait perkaranya, tak perlu mendapatkan remisi.
Pukat UGM mendukung wacana penambahan tuntutan dan penghapusan remisi bagi semua terdakwa dan terpidana korupsi itu. Hanya saja, kata dia, wacana itu ditakutkan akan mengalami tumpang tindih aturan jika terealisasikan ke dalam perundang-undangan.
Sebab, kata dia, semestinya majelis hakim di tingkat pertama, sudah mengingatkan larangan mendapatkan remisi itu bagi terdakwa dan terpidana dalam putusannya. Acuannya, kata dia, ada dalam PP 9/2011 tersebut.
Pekan lalu, Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja mewacana-kan akan menghapus remisi bagi para koruptor. Wacana itu, dikatakan dia, bisa lewat memasukkan klausul larangan mendapatkan hak remisi dalam setiap tuntutan tambahan bagi pa-ra terdakwa korupsi.
Wacana tersebut, menyusul geramnya lembaga antirasuah itu atas mudahnya terpidana korupsi mendapatkan hak pengurangan hukuman. Meski masih dalam wacana, namun dikatakan Pandu, usaha itu ialah untuk memberikan sanksi maksimal atas pelaku korupsi.