REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pengamat politik Universitas 45 Makassar Arief Witjaksono MSi mengatakan pengesahan Undang-Undang Pilkada 2014 melahirkan pro-kontra politik publik yang menjadi tantangan bagi kepemimpinan baru Jokowi-Jusuf Kalla.
"Meskipun ini dianggap sebagai kemunduran politik di Indonesia, namun penetapan RUU Pilkada tersebut tidak akan menjadi babak akhir perseteruan kubu dua politik, apalagi mengingat dinamika politik ini tidak berhenti disini," kata Arief di Makassar, Ahad.
Dia mengatakan, sejak RUU Pilkada diusulkan pada 2010 lalu oleh Kemendagri, RUU ini sejak awal memang telah mengundang pro dan kontra publik politik di Indonesia, sehingga pembahasannya tercatat telah melalui lebih dari 10 kali sidang.
Dalam statusnya sebagai bola panas ini, ungkap dia, dengan pengesahan RUU Pilkada itu akan menjadi komoditas yang cukup rentan untuk dipolitisasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
"Akibatnya, sebagai realitas politik UU ini selalu
dipandang dalam dua sisi, yaitu sisi yang mewakili kepentingan Koalisi Merah Putih, dan sisi satunya lagi merepresentasikan kepentingan koalisi Jokowi-JK," katanya.
Dalam hal ini, kepentingan untuk memilih kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepentingan untuk memilih kepala daerah secara langsung.
Karena itu, dengan ditetapkannya Undang Undang Pilkada ini tentu menimbulkan banyak implikasi, terutama karena aspek pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD dan bukan lagi secara langsung.
Beberapa implikasi yang nampak adalah berkurangnya peran relawan, tim sukses, konsultan politik, dan lembaga survei.
Implikasi juga nyata adanya pada semakin minimalnya peran dan fungsi perangkat penyelenggara Pemilu seperti KPUD serta Panwaslu.
Beragamnya ekses ini kemudian ditutup oleh merebaknya wacana lokal, nasional, dan bahkan global, tentang kemunduran arah perkembangan demokrasi di Indonesia.