Jumat 26 Sep 2014 19:02 WIB

Rakyat Punya Hak Gugat UU Pilkada ke MK

Rep: C73/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf mengatakan pihak yang memiliki hak gugat atau legal standing dalam mengajukan uji materiil UU Pilkada lewat DPRD ke Mahkamah Konstitusi adalah rakyat. Ia mengatakan, judicial review tidak bisa diajukan oleh dewan, kepala daerah atau pun partai politik.

"Yang dipakai adalah letak hak konstitusional warga yang semula ada aturannya. Partai politik tidak bisa mengajukan, karena bagian dari undang-undang itu," tutur Asep kepada Republika, Jumat (26/9).

Menurutnya, penentuan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi wewenang DPR. Sementara, di dalamnya terdiri dari partai politik. Karena itulah tuturnya, rakyat yang memiliki hak gugat kuat ke MK.

 

Asep memberikan saran tiga substansi yang bisa digunakan sebagai argumen oleh pemohon ke MK. Pertama, hak konstitusional rakyat yang merasa dirugikan. Hak memilih rakyat dirampas oleh DPRD, sebagaimana diatur dalam pasal 28 Undang-undang No. 42/2008 bahwa rakyat memiliki hak memilih.

Kedua, argumentasi terkait maksud demokratis sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Dalam hal ini, ujar dia, hakikat dari demokratis itu sendiri adalah keterlibatan rakyat.

Ia mengatakan, perlu ada kajian mendalam. Pilkada oleh DPRD menurutnya demokratis, namun lebih filosofis jika dalam Pilkada adalah rakyat yang menentukan.

Asep menganalogikan bahwa Pilkada adalah bagian dari pemilu. Pilpres dan Pilkada adalah bagian dari pendukung keterpemiluan, ujar dia.

Terakhir, argumentasi yang menyatakan bahwa kepentingan rakyat bukan kepentingan sesaat. Melainkan, untuk membangun pendidikan politik, hak partisipasi politik, dan adanya kajian politik.

Menurutnya, pemilu adalah sistem atau cara untuk menentukan jabatan publik. Sementara, pemilihan kepala daerah adalah sarana untuk membangun pendidikan politik sebagai hak yang melekat pada rakyat.

Dalam beberapa kasus, MK terkadang menggunakan tafsir yang bisa berbeda dengan hukum positif. Ia menganalogikan kasus pengajuan hak rakyat dalam memilih itu seperti dalam UU No. 32/2004. Di mana, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Kemudian, seperti dalam UU No. 8/2005, yang memperbolehkan adanya calon independen. Di mana sebelumnya, tidak ada perorangan diatur dalam UUD. Namun belakangan, MK melihat ketika di dalamnya ada hak konstitusional untuk dipilih. Begitu juga hak memilih adalah hak konstitusional.

"kira-kira sama maknanya. Itu bisa menjadi peluang untuk digugat ke MK. Rakyat menggugat ke MK supaya punya hak memilih," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement