REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla diprediksi akan menghadapi tantangan radikalisme keagamaan dan ekonomi global. Jika Jokowi-JK tidak memiliki kebijakan yang baik, radikalisme tersebut akan menjadi sumber kerusakan.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat mengungkapkan perilaku ekonomi, politik, dan sosial budaya saling berkaitan di Indonesia. Jelang Pemilu banyak elit politik yang mengunjungi kyai di pesantren.
"Saya tidak tahu mereka membicarakan apa, tapi paling tidak itu menunjukkan emosi keagamaan masih sangat kuat yang memengaruhi kebijakan ekonomi politik," ujarnya di Jakarta, Rabu (24/9).
Keterkaitan tersebut memberi peluang perilaku komunal di Tanah Air berkembang di ranah publik. Komaruddin menyebut ada dua bentuk radikalisme yang berkembang di Indonesia yakni radikalisme keagamaan dan radikalisme ekonomi global. Keduanya pun tumbuh beriringan dalam kehidupan sosial ekonomi.
Ia mengungkapkan saat ini minimarket berjejaring mulai menggerus pasar tradisional. Kegiatan ekonomi tersebut bisa memicu sikap radikalisme ekonomi global. Saat bertemu dengan radikalisme agama, permasalahan yang terjadi akan semakin besar.
"Kalau persoalan ini tidak dihadapi dengan pemberdayaan ekonomi, bisa jadi rumput kering yang dibakar radikalisme agama," katanya.
Paham radikalisme di Tanah Air, sambungnya, ikut berkembang seiring dengan perkembangan paham hak asasi dan demokrasi. Kondisi itu menjadi peluang kelompok yang selama ini terpinggirkan untuk tampil ke publik.
"Kalau tidak diantisipasi, perilaku ekonomi politik bisa tidak rasional," ungkapnya.