Rabu 24 Sep 2014 20:02 WIB

Bicara Kebijakan Energi, Rumah Transisi Dinilai Ceroboh

  Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla menggelar konferensi pers di Rumah Transisi, Jakarta, Senin (15/9). (Republika/ Wihdan)
Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla menggelar konferensi pers di Rumah Transisi, Jakarta, Senin (15/9). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Relawan Jokowi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch Ferdinand Hutahaean mengaku geram dengan pernyataan-pernyataan Tim Transisi yang tidak konsisten dan seolah mendahului Jokowi. Pernyataan-pernyataan tim transisi yang tidak konsisten seperti menyatakan akan mengalihkan subsidi BBM, listrik dan gas secara sepihak, mengumumkan satgas mafia migas hingga pembekuan Petral kemudian menganulirnya.

Soalnya menurut Ferdinand, hal tersebut harusnya dinyatakan oleh presiden terpilih Jokowi langsung kepada publik, bukan pihak rumah transisi yang mestinya bekerja untuk Jokowi, bukan malah mengumbar pernyataan.

"Hasto itu siapa? menteri? Harusnya kebijakan yang menyangkut hajat bangsa kepentingan rakyat itu keluar dari mulut Presiden 'dong'. Jokowi saja baru menyatakan akan mempertimbangkan, tapi kenapa JK, Rini, Hasto, Anis, Akbar Faisal sudah bicara naik BBM? Kesannya mereka mengusung order tertentu. Ini kan meresahkan masyarakat," tegas Ferdinand kepada wartawan Rabu (24/9).

"Jangan Hasto teriak naik, Anis teriak naik, Rini teriak naik. Rumah transisi itu tidak dikenal dalam sistem tata negara kita. Janganlah mendahului Presiden dong, kan kesannya jadi seperti tidak menghargai Jokowi."

Menanggapi satgas mafia migas, sesuai yang sudah diusulkan kepada rumah transisi, personil Satgas nantinya akan dibuat secara 'silent'. Tidak diungkapkan mengenai personilnya agar dapat mengecoh skema para mafia. "Kan yang dilawan itu siluman, mereka sulit ditangkap kalau personil Satgasnya terang-terangan," ucap dia.

Ferdinand mengaku, sejak awal sudah mempertanyakan posisi Ari Soemarno yang ditunjuk sebagai Ketua satgas mafia migas, karena akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di internal rumah transisi.

"Harusnya kan orang yang 'clean and clear'. Tapi yah mau bagaimana lagi, itu kan tidak terlepas dari kepentingan politik juga," kata Ferdinand dalam pernyataannya, Selasa (23/9).

"Tapi yah sekali lagi, ini kan politik. Kita juga harus hormati keputusan pak Jokowi," tegasnya.

Pengamat kebijakan ekonomi politik Salamudin Daeng juga mempertanyakan hal tersebut. Ia mempertanyakan tujuan dibentuk anti-mafia migas. "Jika tujuannya untuk mengembalikan kedaulatan negara atas migas, maka Satgas Anti Mafia Migas haruslah diisi orang yang paham tentang konstitusi," ujar Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), itu di Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut dikatakan jika UU Migas 22/2001 tentang Migas telah dibatalkan MK. Maka dalam beberapa waktu kedepan, DPR akan membentuk Undang-Undang baru dalam rangka mengembalikan peran negara mengelola sektor migas.

"Orang-orang yang ditunjuk dalam Satgas Mafia Migas harus dipastikan lepas dari kepentingan untuk menguasai bisnis migas," terangnya.

Menurutnya, nama-nama seperti Ari Soemarno, Raden Priyono, Darwin Silalahi, Taslim Yunus tidak pantas mendukuki jabatan strategis di pemerintahan Jokowi-JK. "Karena jika mereka berlatar belakang bisnis maka satgas mafia migas hanya akan menggantikan mafia lama dengan mafia baru," urainya.

Arie Soemarno merupakan kakak kandung dari kepala staff tim transisi Jokowi-JK, Rini Soemarno. Arie Soemarno juga pernah menjadi direktur utama Petral, sebelum akhirnya ditarik menjadi direktur utama Pertamina pada periode 2006 hingga 2009. Arie Soemarno yang mendesain internal supply chain (ISC) di Pertamina,  badan pengatur kebijakan import minyak mentah, BBM maupun petro kimia.

 

Ikuti informasi terkini seputar sepak bola klik di sini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement