REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus gerak cepat dalam menjalankan program pembangunan di sektor energi agar upaya Indonesia menghapus label negara "net importer energy" bisa dicapai pada lima tahun mendatang.
"Perlu kemauan politik yang kuat dari pemerintah baru untuk melakukan terobosan-terobosan agar sumber daya energi yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal," kata pengamat migas yang juga mantan Deputi Pengendalian Finansial BP Migas (sekarang SKK Migas), Wibowo Suseno Wirjawan kepada pers di Jakarta, Rabu.
Ia mencatat bahwa tantangan utama di sektor migas adalah menurunnya produksi minyak serta hasil eksplorasi migas dalam sepuluh tahun terakhir. Tantangan lain yang tidak kalah beratnya adalah banyaknya peraturan dan perundangan migas yang sebagian menghambat usaha peningkatan investasi dan produksi migas.
Selain itu, panjangnya alur persetujuan migas dan rumitnya birokrasi menjadi suatu kendala tersendiri. Padahal sektor migas diproyeksikan untuk menyediakan energi sebesar 47 persen di tahun 2025.
Atas dasar itu, pemerintahan Jokowi perlu membuat program-program energi jangka pendek tetapi juga perlu mempunyai roadmap jangka panjang yang jelas dan terukur di mana sektor energi mendukung pembangunan industri di Indonesia terutama industri dasar, menengah dan industri hilir. Pembangunan sektor energi juga harus berpihak kepada kepentingan rakyat sehingga lebih tepat disebut pembangunan energi untuk rakyat, paparnya.
Gerak cepat di sektor energi bisa dimulai dari langkah membuat kebijakan harga (policy pricing) yang tepat atas penggunaan energi. "Menaikkan harga BBM sampai tingkat harga tertentu adalah mutlak dan merupakan obat mujarab untuk mengurangi konsumsi BBM dan efek sampingnya mengurangi subsidi," katanya.
Subsidi harus tepat sasaran dan hanya diberikan kepada bidang-bidang produktif rakyat banyak. Demikian pula kenaikan tarif listrik menjadi agenda kedua untuk mengendalikan konsumsi listrik agar krisis listrik dapat ditanggulangi.
Langkah yang kedua dengan merancang dan mengimplementasikan dengan segera sistem transportasi publik yang terintegrasi dan nyaman, agar terjadi migrasi dari pemakai mobil ke transportasi publik. Untuk mendorong migrasi ini, perlu resep tambahan misalnya penerapan tarif parkir mobil yang mahal, pajak progresif kepemilikan mobil, bea masuk mobil ke area tertentu, mobil hanya boleh dipakai bila berpenumpang minimal tiga orang, dan sebagainya.
Ketiga, adalah revitalisasi program konversi baik melalui konversi BBM ke BBG serta konversi dari BBM ke energi terbarukan misalnya biodiesel dan bioethanol. Kedua program konversi ini sudah dicanangkan sejak lama tetapi pelaksanaannya mandek, sehingga butuh kemauan politik pemerintah baru serta terobosan dan solusi terhadap kendala-kendala dalam implementasi program tersebut.
Bila perlu, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla memberikan kewajiban kepada produsen otomotif untuk memproduksi minimal 20 persen kendaraan berbahan bakar non BBM dari total seluruh produksinya dan tentu saja memberikan pelayanan purna jualnya. Namun Pemerintahan Jokowi-JK harus mensinkronkan kebijakan tersebut dengan ketersediaan energi plus infrastrukturnya serta memberikan insentif.
Keempat, membuat sistem pengadaan dan distribusi energi yang bisa mengurangi praktik-praktik mafia energi dan tentu saja akan meningkatkan efisiensi biaya dan penghematan anggaran.
Kelima, fokus dalam eksekusi program-program energi tersebut dalam satu satuan target waktu. Harus disadari banyak program-program energi yang dimulai dari sekarang tetapi hasilnya baru akan dinikmati dalam dua atau tiga tahun mendatang. "Yang penting pemerintah baru tetap konsisten menjalankan program dan jangan kehilangan fokus," jelas Wirjawan.