REPUBLIKA.CO.ID, BALAI KOTA -- Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan sinergi transportasi massal yang menghubungkan Ibu Kota dan kota-kota penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), perlu dipercepat. Selama ini, koordinasi Ibu Kota dengan kota-kota satelit, khususnya terkait transportasi massal, masih belum lancar.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Benjamin Bukit mengatakan, masalah transportasi Ibu Kota dan wilayah tetangga masih berjalan sendiri-sendiri. Ibu Kota kerap mengalami kendala ketika akan memperpanjang jalur transportasi kota tetangga. "Ya seperti perpanjangan TransJakarta ke Harapan Indah, Kota Bekasi. Waktu itu kami menemui banyak masalah dengan dishub wilayah setempat," kata dia, Senin (22/9).
Benjamin berpendapat, keselarasan arus perhubungan di Jabodetabek membutuhkan peran dari satu otoritas. Dia pun menyodorkan usulan pembentukan Otoritas Transportasi Jabodetabek untuk lebih menyinergikan masalah angkutan umum ini. "Kalau ada satu otoritas yang mengatur, prosesnya bisa cepat," ujar dia.
Pada 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pernah mendorong agar Otoritas Transportasi Jabodetabek dapat segera terbentuk. Otoritas ini akan menjadi badan yang berwenang mengatur pembangunan infrastruktur transportasi massal, penyediaan armada, interkonektivitas angkutan, serta mengatur jalur angkutan. Namun, kewenangan pembentukan ini masih menunggu persetujuan pemerintah pusat.
Tanpa otoritas tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menunggu komitmen pemerintah di wilayah tetangga untuk memperpanjang layanan angkutan massal. Perpanjangan yang sudah dilakukan seperti pengoperasian angkutan perbatasan terintegrasi bus Transjakarta (APTB).
Awalnya, jalur khusus hanya dapat digunakan untuk bus Transjakarta. Angkutan umum lain harus melintas di jalur umum. Namun, Pemprov DKI mengubah kebijakan dengan mengizinkan APTB dan bus Kopaja melintas di jalur khusus.
Benjamin menyatakan, APTB merupakan salah satu solusi masalah kemacetan di Ibu Kota. Sebab, APTB diharapkan dapat mengurangi masuknya kendaraan pribadi dari kota penyangga. Kendati demikian, dia menyatakan, DKI dan kota penyangga harus menemukan solusi agar lebih banyak masyarakat naik APTB.
Dyah, warga Bekasi Timur, mengatakan, keberadaan APTB sangat membantu mobilitasnya ke Ibu Kota. Dia juga tidak keberatan harus membayar dua tiket untuk menggunakan APTB. Ketika masuk ke halte, Dyah harus merogoh kocek Rp 3.500 untuk tiket bus Transjakarta.
Ketika naik di bus, Dyah harus membayar Rp 5 ribu untuk tiket APTB. "Itu kan kayak bus juga. Kalau enggak bayar kasihan sopir sama petugasnya juga enggak ada yang bayar," kata Dyah.