Senin 22 Sep 2014 09:06 WIB

Terkait RUU Pilkada, Rakyat Dinilai Lebih Berhak Memilih

Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9). (Republika/ Wihdan).
Foto: Republika/ Wihdan
Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9). (Republika/ Wihdan).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Komite Aksi Nusa Tenggara Barat Bersih 2014 di Kota Mataram, Ahad, mengedukasi masyarakat bahwa rakyat secara politik lebih berhak memilih kepala daerah, sehingga perlu bersama-sama menolak Rancangan Undang-Undang Pilkada yang tengah dibahas DPR.

Sekitar 20 pemuda dari komite tersebut, tanpa pidato dan teriakan, memberi penjelasan dan brosur pandangan politik ke warga masyarakat yang melintas Jalan Udayana mengenai arti penting pilkada langsung bagi kehidupan demokrasi.

"Aksi ini kami lakukan sebagai bentuk edukasi terhadap masyarakat tentang arti penting Pilkada langsung. Tujuannya untuk membangun kepercayaan diri warga masyarakat untuk mempertahankan haknya dalam menentukan pemimpin," kata Koordinator Komite Aksi NTB Bersih 2014 Deny Hartawan.

Ia menjelaskan, saat ini para wakil rakyat di DPR sedang menggodok RUU Pilkada. Salah satu poin utamanya, ada upaya sebagian kelompok politik untuk mengembalikan pemilihan melalui oeh DPRD, dengan berbagai alasan antara lain, maraknya politik uang, biaya politik daerah terhadap anggaran pemilihan langsung tinggi, dan maraknya konflik horisontal.

Padahal, menurutnya, debat mengenai sistem Pilkada secara langsung atau diwakilkan semestinya tidak diposisikan semata dalam ranah teknis mengenai kekurangan dan kelebihannya atau manfaat dan mudharatnya, melainkan seharus lebih ideologis bahwa urusan memilih pemimpin khususnya kepala daerah adalah hak milik rakyat yang sah.

Karenanya, ia menegaskan ide untuk mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD adalah upaya pemberangusan hak rakyat yang sah untuk memilih pemimpin.

"Urusan memilih pemimpin itu hak kita sebagai rakyat. Rakyat berkehendak. Kami sendiri yang pilih. Rakyat mampu, tidak perlu parpol dan anggota DPRD mewakili kami dalam urusan itu," tegasnya.

Oleh karena itu, mereka berpandangan Pemilu kedepan dilaksanakan dua jenis saja, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Eksekutif secara serentak baik pusat maupun daerah, secara "online". Namun untuk menuju kondisi ideal ini diperlukan masa transisi sebagai penyesuaian dari kondisi sekarang dan membutuhkan perbaikan dalam sistim administrasi kependudukan.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement