REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Diusulkannya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) dinilai sebagai bukti kegagalan regenerasi di tubuh PDIP. Dengan menjadi ketum kembali, Mega memainkan kebijakan regenerasi kepemimpinan yang bersayap.
Demikian disampaikan pengamat politik The Political Literacy Institute Adi Prayitno saat dihubungi Republika, Ahad (21/9).
Di satu sisi, sejumlah kader PDIP banyak yg didorong untuk jadi pemimpin daerah seperti Jokowi (DKI Jakarta) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng). Namun pada saat yg bersamaan, Megawati enggan ada peremajaan dan regerasi di level pengurus pusat.
"Padahal banyak kader potensial PDIP untuk memegang nahkoda partai moncong putih itu," ujarnya. Adi mencontohkan, kader partai yang layak menjadi ketum di PDIP itu seperti Pramono Anung dan Tjahjo Kumolo
Kalau hanya alasan untuk menyokong pemerintahan Jokowi, Megawati tak harus jadi ketum lagi. Ia cukup menjadi ketua Pembina seperti SBY dan Prabowo.
"Toh, dua partai tersebut tetap kokoh dan solid. Mestinya Megawati sudah pensiun di pentas politik dan cukup jadi guru bangsa saja," sarannya.
Alasan lain kenapa Megawati masih ingin menjadi ketum, kata Adi, karena Megawati tak mau aura dan kewibawaan trah Soekarno di PDIP luntur. Sebab sebenarnya sudah banyak kader-kader muda potensial yang bisa menjaga marwah politik PDIP.
"Apalagi banyak yang mengembuskan isu supaya Jokowi mengambil alih kepemimpinan PDIP," katanya.