REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum akan menghadapi vonis dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang pada 24 September 2014.
"Putusan dilangsungkan pada Rabu, 24 September jam dua siang (14.00, red). Supaya paling tidak kalau ada salah ketik masih bisa kami koreksi. Sidang kami tutup," kata Ketua Majelis Hakim Haswandi dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) Anas di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Pada sidang hari ini Anas membacakan pledoi pribadinya yang ditulis tangan setebal 80 halaman selama dua jam dengan berdiri.
Pembacaan putusan biasanya punya jeda dua pekan setelah pembacaan pledoi, tapi pembacaan putusan Anas dipercepat karena Haswandi harus berangkat untuk beribadah haji pada 25 September 2014.
Atas pledoi tersebut, ketua jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Yudi Kristiana menilai bahwa nota pembelaan tersebut merupakan bentuk dialektika.
"Sebagaimana disampaikan Hegel, seorang filsuf Jerman yang kemudian dikenal dengan teori dialektika Hegel dan mengingat proses dialektika sudah berlangsung dengan sangat serius dan bersambut bahkan nampak sambut bergayung dengan tidak saja dengan menyampaikan dalil-dalil hukum," kata Yudi.
Yudi mengungkapkan setidaknya ada beberapa pemikiran dari filsafat Jawa serta Minang yang disampaikan Anas.
"Maka kami jaksa penuntut umum bersikap dengan mengingat objek penegakan hukum progresif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang tanpa mengesampingkan penegakan hukum dengan pendekatan yang humanis, maka kami tetap pada tuntutan sebagaimana yang sudah kami ajukan sebelumnya," tambah Yudi.
Atas tanggapan jaksa tersebut Anas menilai bahwa pledoinya sudah berdasarkan logika ilmu dan keyakinan.
"Nota pembelaan kami komprehensif karena itu tentu kami tetap dalam posisi nota pembelaan tadi. Pada ujungnya adalah putusan majelis hakim yang sungguh kami harapkan bisa memutuskan secara adil berdasarkan fakta persidangan dan pandangan majelis hakim. Di ujung palu hakim ada keadilan yang tegas berdiri," kata Anas.
Anas dalam nota pledoinya membantah telah menerima hadiah berupa uang, barang dan fasilitas senilai Rp118,7 miliar dan 5,26 juta dolar AS.
"Mengaitkan terdakwa selaku anggota DPR RI, proyek-proyek mitra kerja dan tuduhan menerima Rp118,7 miliar dan 5,26 juta dolar AS adalah pemaksaan dakwaan dan tuntutan, tidak berdasar, tidak berbasis logika, tidak berdasar bukti, irasional dan hanya berdasar keterangan sepihak dalam BAP saksi Nazaruddin serta telah terbantah secara telak oleh para saksi yang dihadirkan oleh jaksa dalam persidangan," ungkap Anas.
Anas dalam perkara ini dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dan ditambah hukuman tambahan yaitu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS, pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik, serta pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektar di kecamatan Bengalon dan Kongbeng, kabupaten Kutai Timur.
Tuntutan jaksa KPK berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP.
Anas juga didakwa berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 65 ayat 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.