Jumat 19 Sep 2014 00:24 WIB

Sinyal dari Mahkamah Agung untuk Para Koruptor

Rep: Ira Sasmita/ Red: Julkifli Marbun
Hakim Agung, Artidjo Alkostar
Foto: IST
Hakim Agung, Artidjo Alkostar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) kembali menolak kasasi koruptor. Setelah menolak kasasi dan memperberat hukuman Luthfi Hasan Ishaq, MA juga menolak kasasi terdakwa korupsi Ahmad Fathanah.

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar mengatakan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Yang merampas hak-hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan.

Parahnya, lanjut Artidjo, aktor yang melakukan tindak pidana korupsi adalah mereka yang memegang kekuasaan dan jabatan politik. Yang sudah diberikan kewenangan untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan memformulasikan kebijakan demi kesejahteraan rakyat.

"Mereka mempergunakan kekuasannya untuk melakukan transaksional untuk mendapatkan imbalan. Ini kan jadi ironi bagi demokrasi. Rakyat mempercayai untuk memilih, ini dipilih kok korupsi juga," kata Artidjo di ruang kerjanya, Gedung MA, Jakarta, Kamis (18/9).

Putusan MA menolak kasasi hingga memperberat hukuman koruptor, menurut Artidjo, bukan untuk menimbulkan efek jera. Karena dalam istilah pengadilan umum tidak dikenal efek jera. Pengdailan juga tidak mengenal istilah memiskinkan koruptor.

"Kami memakainya adalah preferensi umum dan preferensi khusus. Preferensi umum supaya masyarakat juga tidak mengulangi seperti dia (koruptor), preferensi khusus bagi dia sendiri," jelasnya.

Hakim berusia 65 tahun itu mengatakan, putusan MA menambahkan hukuman memang atas pertimbangan beberapa hal yang tidak dilihat pengadilan tingkat pertama. Namun, dalam pengadilan menurutnya hakim memiliki kemandirian. Pimpinan MA juga tidak boleh mempengaruhi pengadilan tingkat bawah.

"Tapi dia (putusan MA) hanya bisa memberikan sinyal. Ini loh (hukuman lebih berat)," ungkap Artidjo.

Menurutnya, hakim memiliki tiga pertimbangan. Yakni fakta hukum, peraturan perundang-undangan, dan yurisprudensi.

Dalam menjatuhkan putusan hakim juga mempetimbangkan kepada siapa mereka bertanggung jawab. Selain kepada ilmu, institusi, hakim juga bertanggung jawab kepada masyarakat. Jika dalam menjatuhkan putusan, ada hal yang menyimpang, masyarakat bisa memberikan penilaian.

Masyarakat sebagai pemangku kepentingan, jelas Artidjo, juga memiliki hak untuk bertanya. Apakah hukuman terhadap koruptor sudah layak atau tidak. MA menurutnya menjalankan fungsi proteksi kepada rakyat.

"Jadi supaya negara kita ini tidak terpredikat, kita diangkatlah martabat bangsa masak jadi negara korup. Kita malu dong, ini negara apa ini sebenarnya," kata dia.

MA pada Senin (15/9) memutuskan menolak permohonan kasasi Terdakwa kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). MA malah memperberat hukuman mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut dari 16 tahun menjadi 18 tahun kurungan. MA juga mencabut hak politik LHI.Pencabutan hak politik sebelumnya juga dilakukan MA terhadap terdakwa korupsi Djoko Susilo.

Lalu, pada Rabu (17/9) MA juga menolak kasasi terdakwa korupsi yang berkomplotan dengan LHI, Ahmad Fathanah. MA juga menolak kasasi Aiptu Labora Sitorus. Pemilik rekening gendut itu dipidana 15 tahun penjara dan didenda Rp 5 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement