Kamis 18 Sep 2014 15:09 WIB

Jokowi-JK Harus Implementasikan UU Desa

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Bayu Hermawan
Ribuan massa yang tergabung dari Persatuan Rakyat Desa (PARADE) menuntut pengangkatan PNS dan penuntasan RUU Desa.
Foto: ANTARA/Joanzen Yoka/ca
Ribuan massa yang tergabung dari Persatuan Rakyat Desa (PARADE) menuntut pengangkatan PNS dan penuntasan RUU Desa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, mendorong pemerintahan Jokowi-JK untuk bisa mengimplementasikan UU No 6/2014 tentang Desa. Sebab hingga saat ini kesenjangan pembangunan antara pedesaan dan perkotaan sangat lebar. Bahkan, desa masih termarjinalkan.

Researcher at the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan, pembangunan di pedesaan itu telah diamanatkan dalam UU. Jadi, harus dijalankan oleh pemerintah. Termasuk, oleh pemerintahan Jokowi-JK kedepan.

"Karena Indonesia ini, memiliki 72 ribu desa yang tersebar di 32 provinsi," ujarnya, kepada //Republika//, Kamis (18/9).

Salah satu yang harus diimplementasikan, yakni terealisasinya alokasi dana desa (ADD). Pemerintahan saat ini, telah mengalokasikan anggaran pada APBN 2015 mendatang sebesar Rp 9,1 triliun. Anggaran tersebut, khusus buat ADD.

Tujuan dialokasinnya anggaran desa ini, untuk memercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Serta, meminimalisasi kesenjangan antara desa dengan kota.

Ia melanjutkan, permasalahannya apakah alokasi itu akan dibagikan ke 72 ribu desa tersebut, atau pemerintah akan memrioritaskan desa yang akan mendapatkan bantuan itu.

Kalau di bagi rata, berarti setiap desa hanya akan mendapatkan bantuan sekitar Rp 126 juta. Kira-kira, anggaran itu cukup tidak untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Akan tetapi, jika ada skala prioritas maka desa yang beruntung mendapatkan bantuan tahap pertama itu akan mendapat suntikan dana antara Rp 600 juta sampai Rp 1 miliar. Jika bantuan sebesar ini diberikan ke desa, dinilai bisa membangun dan meningkatkan kesejahteraan.

"Tetapi, desa lainnya harus menunggu untuk dapat giliran bantuan," ujarnya.

Namun, berdasarkan hasil survei di lapangan, meskipun anggaran itu belum cair, tetapi ada kekhawatiran soal bantuan desa tersebut. Mayoritas masyarakat desa, tidak ingin bantuan itu dikelola aparat pemerintahan desa setempat. Karena, masyarakat tidak memercayainya.

Justru, keinginan masyarakat itu, bantuan tersebut dibagi rata. Jadi, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah. Akan tetapi, lanjut Faisal, itu hanya pemikiran masyarakat. Tentunya, anggaran itu tak bisa dibagikan begitu saja ke masyarakat langsung.

Karena itu, supaya tidak terjadi penyelewengan atau bantuan itu tak tepat sasaran, sebaiknya pemerintahan baru harus mengkaji ulang pemberian bantuan ini. Jadi, sebelum anggaran itu cair, seyogyanya pemerintah memberikan sosialisasi dan edukasi kepada aparat desa. Supaya, mereka tak tersandung masalah hukum.

"Jadi, kami mendorong UU tersebut diimplementasikan. Tapi, pemerintah jangan lepas tangan terhadap konsekuensi hukumnya," ujarnya.

Dengan kata lain, lanjut dia, sebelum bantuan itu cair piranti keras atau lunaknya harus dipersiapkan terlebih dulu. Supaya, pemerintahan desa bisa memanfaatkan bantuan itu dengan benar. Serta, bantuan itu bisa dirasakan maksimal oleh masyarakat. Sehingga, cita-cita UU yang ingin mendorong desa supaya bisa maju dan mandiri bisa terealisasikan.

Sementara itu, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi IPB, Nunung Nuryartono, mengatakan, UU desa ini harus bisa menyejahterakan masyarakat. Karena itu, pemerintahan baru ini harus bisa mengurangi kesenjangan tersebut.

"Dalam visi misi Jokowi-JK, mereka akan memrioritaskan pembangunan pedesaan. Ini harus ditepati," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement