REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasangan Jokowi-JK berjanji akan menjadikan masalah pangan sebagai salah satu fokus perhatian pemerintahannya selama lima tahun ke depan. Salah satu masalah akut yang banyak memukul para petani, adalah praktik kartel. Adanya kongkalikong pengusaha besar inilah yang mesti diberantas Jokowi-Jusuf Kalla.
Karena ini, Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Benny Pasaribu, menyarankan agar Jokowi-JK dalam memilih menteri pertanian harus merupakan pribadi yang berani memberantas mafia pangan.
"Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam, kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk," kata Benny dalam diskusi 'Membaca Arah Politik Pangan di Era Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla' di Jakarta, Rabu (17/9).
Menurut dia, sektor pertanian hingga sekarang tak ada kemajuan berarti. Justru, sambung dia, setumpuk problem melilit sektor yang banyak jadi gantungan hidup rakyat Indonesia. Salah satu masalah yang terus membuat sektor pangan tak pernah berdaulat di negeri ini adalah kuatnya cengkeraman para mafia.
Selain pupuk, kata dia, benih atau bibit selalu menjadi permainan oknum tertentu yang bergerak di sektor pangan. "Lihat saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching, Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Nah, bulan Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia harusnya sudah bisa diberantas," ujarnya.
Benny berharap, Jokowi-JK bisa memanfaatkan momentum untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara agraris. Pasalnya, ia melihat selama 10 tahun kepemimpiman SBY, sektor pangan terutama pertanian tak ada perubahan signifikan. "Coba berapa irigasi yang di bangun SBY. Dulu ada Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani. Sekarang kelembagaan itu seperti dihancurkan."
Dia melanjutkan, ditinjau dari berbagai segi, Indonesia bisa cepat berdaulat di sektor pangan. Tapi, harus diakuinya, sektor yang bersentuhan langsung dengan rakyat itu mengalami salah urus dan kelola. Dia mencontohkan, perusahaan BUMN bernama Sang Hyang Sri, yang bergerak dalam pembudidayaan benih.
Nyatanya, perusahaan plat merah yang mempunyai lahan untuk pembudidayaan benih hingga 3.000 hektare itu kini megap-megap. Padahal, kalau diurus dengan benar, Sang Hyang Sri bisa jadi juru selamat bagi kaum tani.
"Sang Hyang Sri, kini apa coba? Itu karena orientasinya proyek, sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak. Kita ada semua, tinggal kembalikan fungsi Bulog," saran Benni. "Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok nasional."
Apalagi Bulog, kata Benni, sudah punya gudang-gudang baik itu di pelabuhan atau di kota-kota di daerah. Tinggal fungsikan itu kembali, sehingga ketika masa paceklik tiba, masalah pangan tak terus jadi problem. "Sekarang kan gudang-gudang Bulog, atau KUD, nganggur, jadi lapangan futsal malah. Karena sekarang barang dari pelabuhan langsung masuk pasar," kata Benni.