REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng menilai presiden terpilih Joko Widodo tidak akan mampu mewujudkan misi trisaktinya, jika memilih para petinggi perusahaan asing untuk memimpin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pernyataan itu disampaikan Salamudin di Jakarta, Rabu (17/6), saat menanggapi pertanyaan wartawan terkait nama-nama yang beredar yang santer disebut bakal mengisi jabatan menteri ESDM. "Kabarnya menempatkan CEO perusaahan-perusahaaan multinasional dalam jajaran kabinet, seperti Darwin Silalahi, CEO Shell Indonesia, atau orang-orang bermasalah seperti Ari Soemarno, Raden Priyono yang memilik track yang kurang bagus," ucap Salamuddin.
Salamuddin berpendapat, jika Jokowi memilih salah satu dari deretan nama tersebut, artinya akan mementahkan upaya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) memperjuangkan ideologi Trisakti Kemerdekaan yang selama ini diusung, yakni berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkpribadian secara kebudayaan.
Ia berkata, para pejabat perusahaan asing akan menjadikan mantan pejabatnya itu menjadi pro perusahaan yang pernah dipimpinnya. Terlebih menurut Salamuddin, ESDM membawahi sekotor minyak dan gas yang paling menjadi incaran pebisnis atau cukong.
"Salah satu sektor yang paling menggiurkan bagi para pebisnis, terutama perusahaan multinasional asing adalah sektor migas," ucap dia.
Sejauh ini, imbuh Salamuddin, sektor migas telah menjadi ajang pengerukan kartel internasional, sindikat bisnis, dan mafia dalam kekuasaan secara bersama-sama. Atas dasar itu, ia menyarankan agar Jokowi memerhatikan kuatnya kepentingan para pebisnis atau cukong itu untuk menguasai kekuasaan dan berlindung di baliknya untuk memperluas bisnisnya.
"Para pebisnis yang menjarah minyak, tambang, dan hutan Indonesia tidak layak menemptkan CEO dan orangnya dalam jajaran kabinet," tegas Salamuddin.
Terlebih, imbuh Salamuddin, Jokowi pernah menegaskan, menteri asal partai politik di kabinetnya mendatang harus melepas jabatan partai. Sehingga Jokowi juga harus menerapkan komitmen yang sama, yakni membebaskan menterinya dari pebisnis, orang yang terlibat langsung dalam bisnis, baik sebagai CEO perusahaan perusahaan asing maupun nasional.
Jika maksud Jokowi mewajibkan menterinya keluar dari jeratan parpol demi menjamin profesionalitas kabinetnya, masih kata Salamuddin, maka Jokowi juga harus melepaskan kabinetnya dari jeratan para pebisnis atau cukong untuk menjamin agar tidak terjadi 'conflict of interest'.
Seharusnya menurut Salamuddin, Jokowi membangun komitmen agar para menterinya bebas dari perusahaan-perusahaan yang selama ini menggerogoti kekayaan nasional, karena para pebisnis inilah yang jauh lebih berbahaya dari pengurus parpol.
"Pengurus parpol masih memiliki tanggung jawab kepada konstituen, sehingga dia akan sangat berhitung jika sepak terjangnya merugikan konstituennya. Sementara pebisnis, kartel dan sindikat internasional, hanya bertanggung jawab kepada keuntungan dan uang," papar dia.