REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Riefqi Muna, mengatakan banyak peneliti Indonesia yang memutuskan tidak kembali ke tanah air seusai menyelesaikan pendidikan di luar negeri. Salah satu penyebabnya adalah faktor lingkungan dan insentif yang kurang baik.
Untuk itu Riefqi meminta pemerintah dapat meningkatkan insentif bagi peneliti.
"Negara harusnya memberikan dukungan atau menciptakan suasana agar peneliti yang punya keahlian tidak lari keluar atau migrasi otak. Riilnya ada insentif tidak hanya uang tapi mudahnya alat, laboratorium dan suasana yang nyaman," kata Riefqi seusai acara seminar di Auditorium LIPI, Selasa (16/9).
Menurutnya, kondisi peneliti di Indonesia sangat kurang insentif. Hal itu bedampak pada hasil penelitian. Para peneliti tidak fokus melakukan penelitian, melainkan sibuk dengan aspek-aspek lain.
Selain itu, pengembangan ilmu sosial di Indonesia masih dalam proses karena terpengaruh kondisi politik yang ada. Saat masuk era Orde Baru, ilmu sosial dibatasi hanya pada ilmu-ilmu yang mendukung modernisasi.
"Secara statistik menjukkan sejak 1969 sampai sekarang perbandingan penganggaran terhadap penelitian dan pengembangan menurun. Artinya komitmen negara untuk pengembangan keilmuan sangat rendah. Sehingga tidak aneh kemampuan ekspor berteknologi tinggi juga rendah," ujarnya.
Pihaknya berharap pemerintah menaruh perhatian terhadap Iptek, sehingga Indonesia bisa bersaing di dunia internasional. Dia juga berharap pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen dalam pengembangan penelitian dengan menambah anggaran penelitian.
Soal insentif, menurutnya permasalahannya bukan sekadar sikap nasionalisme para peneliti, tapi bagaimana peneliti bisa mengembangkan diri. Meski belum mengetahui secara pasti berapa anggaran yang diperlukan untuk meningkatkan insentif peneliti, Riefqi menilai negara masih mampu menanggung.
"Kalau negara besar, uang segitu tidak banyak, tinggal pemerintah komitmen," imbuhnya.