REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi perkapalan dan energi, Yaniarsyah Hasan mengemukakan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya memilih menteri kelautan yang berlatar belakang militer terutama angkatan laut yang memiliki "track record" bersih dan tegas.
"Ini menjadi penting karena untuk menyelesaikan masalah kelautan diperlukan seorang pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan tumpang tindih peraturan dan regulasi yang terjadi," katanya kepada pers di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, banyak sekali peraturan di sektor kelautan yang tumpang-tindih. "Ini belum satu atap dan untuk itu diperlukan seorang menteri kelautan yang disegani oleh lembaga-lembaga dan pemimpinnya," katanya.
Karena itu, kata dia, perlu seorang mantan perwira militer bintang empat dari unsur angkatan laut agar disegani sehingga tidak saling mengklaim kewenangan.
Namun demikian, kata dia, dalam pemerintahannya, Jokowi tetap harus membuat regulasi sektor kelautan ini. "Banyak potensi di sektor kelautan yang bisa didapatkan jika regulasinya jelas dan satu atap. Ini tahap kedua yang harus diselesaikan oleh Jokowi," katanya.
Dia pun mengingatkan Jokowi untuk menyelesaikan regulasi rencana sebelum membahas rencana pembangunan infrastruktur untuk tol laut seperti yang dijanjikan Jokowi dalam debat capres. "Regulasi ini perlu sebagai aturan main seluruh pihak, baik pemerintah maupun swasta sehingga tidak ada tumpang-tindih yang bisa merugikan salah satu pihak," katanya.
Menurut dia, konsep tol laut yang diwacanakan oleh Joko Widodo adalah membangun sebuah sistem transportasi laut yang memberikan kelancaran arus barang dan jasa sehingga menurunkan biaya-biaya yang timbul dalam perpindahan barang dan jasa.
Dengan demikian, kata dia, diharapkan bisa terjadi keseimbangan harga baru dari barang dan jasa di masing-masing daerah atau diharapkan secara ekstrim terjadi penurunan harga barang dan jasa serta penurunan perbedaan harga di masing-masing daerah.
Yaniarsyah mengungkapkan, selama ini dalam pengoperasian armada laut baik breakbulk maupun container dikenal dengan dua sistem, yaitu tramper dan liner. Timbulnya dua sistem ini pada dasarnya disebabkan karena penumpukan barang yang akan diangkat berbeda-beda dan apabila tidak tercapai "break even point" (BEP).
Perusahaan-perusahaan pelayaran mengoperasikan armada secara tramper (tanpa jadwal dan berlabuh dibanyak pelabuhan) untuk mencapai tingkat BEP operasi.
"Sistem liner umumnya beroperasi dari pelabuhan ke pelabuhan tertentu dan ini dilakukan apabila potensi barang-barang yang akan diangkut telah mencapai BEP," katanya.
Karena itu, tol laut akan terlaksana bila didukung penuh oleh perusahaan-perusahaan pelayaran yang pada umumnya adalah perusahaan-perusahaan swasta yang berorientasi pada profit, mengingat saat ini tidak ada perusahaan angkutan laut (perkapalan) pemerintah yang memiliki armada yang cukup untuk melaksanakan ini.
Hal ini sangat berbeda dengan angkutan seperti kereta api yang dikontrol oleh Pemerintah dan masih menjadi penugasan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sehingga lebih mudah untuk melakukan kebijakan-kebijakan.
Ia menyatakan beberapa langkah penting yang bisa diambil Jokowi untuk mewujudkan tol laut ini, antara lain, menentukan segera Spoke dan Hub Port (pelabuhan) yang akan di integrasikan dalam program tol laut, agar menarik perusahaan pelayaran untuk bisa berhitung secara bisnis dalam menyukseskan Program Tol Laut.
Selain itu mereview kembali tata perizinan sehingga perusahaan pelayaran diarahkan untuk melayani jalur-jalur yang dibutuhkan untuk mendukung program tol laut secara liner.
Yaniarsyah mengatakan, perusahaan pengelola pelabuhan (Pelindo I, II, III dan IV) perlu mendukung dari sisi pelayanan dan fasilitas sehingga cepat dan dengan harga yang kompetitif untuk perusahaan-perusahaan pelayaran.
"Integrasi transportasi perlu direncanakan segera karena angkutan laut umumnya dimiliki perusahaan swasta, pelabuhan dimiliki pemerintah dan angkutan darat (di luar kereta api) dimiliki oleh swasta, sehingga tercipta integrasi sistem yang menguntungkan dan dapat diterima oleh semua pihak perlu dilaksanakan segera," katanya.
Di samping itu dirinya pun berpendapat bahwa secara keseluruhan regulasi di bidang kelautan pun perlu ditata ulang karena banyaknya regulasi dan lembaga yang berwenang di laut, perlu disegerakan proses pembentukan pelayanan satu atap untuk mendukung regulasi perizinan dalam rangka mendukung program tol laut.
Menurut dia, agar regulasi berjalan cepat dan tepat program ini perlu dipimpin dan dilakukan oleh tim dan pemimpin tim yang kuat yang memahami masalah sektor kelautan/maritim dan mampu bersikap tegas serta mampu mengintegrasikan seluruh komponen yang terlibat dalam proses mewujudkan tol laut dan Indonesia sebagai Poros Maritim.
Tim Transisi terus berupaya mendalami program pendulum nusantara untuk digabung dengan tol laut versi Jokowi.
Rencananya, dalam dua minggu ke depan Tim Transisi bakal berupaya berkomunikasi dengan Kementerian Perhubungan untuk mengetahui kesamaan antara pendulum nusantara dengan tol laut.
Sebelumnya Jokowi dalam debat capres mengatakan akan membangun tol laut untuk mengatasi kesenjangan pertumbuhan yang ada di Indonesia. Pernyataan itu pun diperkuat dengan langkah Tim Transisi yang akan menemui pihak Kementerian Perhubungan untuk mengetahui seberapa siap pembangunan pendulum nusantara.
Deputi Tim Transisi Andi Widjadjanto mengatakan tim perlu memperdalam apakah ada integrasi antara infrastruktur transportasi darat, seperti rel kereta api hingga posisi pasar, sebagai tempat distribusi barang.
Selanjutnya, soal keberadaan pelabuhan laut dalam atau deep sea port. Tim Transisi ingin mengetahui apakah ada rencana membangun pelabuhan laut dalam yang terhubung dengan aliran sungai besar, seperti yang ada di Sumatera dan Kalimantan.
"Secara umum ini yang akan kami pelajari," katanya.