Selasa 16 Sep 2014 16:33 WIB

LIPI: PPP Pecah karena SDA

Rep: c87/ Red: Mansyur Faqih
Pengunjung memasuki pintu utama di kantor DPP PPP di Jakarta, Senin (18/8). (Republika/ Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pengunjung memasuki pintu utama di kantor DPP PPP di Jakarta, Senin (18/8). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpecahan internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) semakin menguat. Kubu Emron Pangkapi bahkan telah mengadakan rapimnas, Ahad (14/9). 

Mereka kemudian mendatangi kantor kemenkumham pada Senin (15/9) untuk menginformasikan perubahan stuktur partai.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fachry Ali menilai, erpecahan di tubuh PPP disebabkan oleh sikap ketua umum Suryadharma Ali (SDA) yang enggan mundur dari jabatan pimpinan partai.

Menurutnya, sikap SDA mencerminkan politisi yang tidak mempunyai etika politik. "Partai pecah karena dia tidak mau mundur," kata Fachry saat dihubungi Republika, Selasa (16/9).

Fachry mengatakan, seharusnya SDA segera mengambil sikap mundur setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji. Yaitu, meniru langkah mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan menteri ESDM Jero Wacik. 

Keduanya mundur dari jabatan setelah ditetapkan sebagai tersangka. "Kalau SDA malah tidak mau mundur. Seharusnya PPP memberikan contoh yang baik," ujarnya.

Fachry menilai, pemecatan SDA oleh Emron Pangkapi, Romahurmuziy dan Suharso Manoarfa merupakan tindakan yang benar. 

Langkah Emron cs dinilai sebagai upaya menyelamatkan partai. Namun, dia menepis anggapan ada upaya sistematis memecah partai berlambang Ka'bah itu.

"Secara etika langkah Emron cs sudah benar. Yang jelas SDA itu tersangka, daripada partainya buruk ya diganti saja," imbuhnya. 

Sebelumnya, di tubuh PPP terjadi tindakan saling pemecatan kader. Emron cs melakukan pemecatan kepada SDA sebagai ketua umum. Kemudian SDA memecat Emron cs yang dianggap tidak mematuhi AD/ART partai. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement