Selasa 16 Sep 2014 12:20 WIB

Nikah Beda Agama, Buddha: Harus Seagama, tak Bisa Ditawar (II)

Rep: C60/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Keakraban antar Muslim dan Umat Buddha di Myanmar
Foto: Facebook
Keakraban antar Muslim dan Umat Buddha di Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mencuatnya isu pernikahan berbeda agama mendapat tanggapan dari tokoh agama Buddha. Dalam ajaran agama Buddha, pernikahan hanya bisa dilakukan antara dua orang yang meyakini kebenaran ajaran Budhisme.

“Pernikahan dalam agama Buddha, harus seagama, tidak bisa ditawar-tawar,” ujar Tokoh agama Buddha, Rahib Jimmu Gunabhadra saat dihubungi Republika, Selasa (16/9).

Baca Juga

Ajaran Budhisme, kata Jimmu, hanya bisa merestui pernikahan sesama penganut Buddha. Agama Buddha, kata dia, tidak dapat memiliki ajaran untuk merestui pernikahan antara dua orang yang berbeda keyakinan.

Penasehat Sangha Mahayana Indonesia ini menyatakan, pernikahan anatara dua orang yang berbeda keyakinan tidak dapat dibenarkan. “Praktiknya kumpul kebo,” ujar dia tegas.

Pernikahan, kata dia, memiliki pijakan hukum dalam ajaran dharma. Pernikahan dalam agama Buddha harus tunduk pada hukum Buddha. Dan dalam ajaran Buddha, kata dia, pernikahan pengikut Buddha, hanya diperkenankan menikahi orang yang memiliki keyakinan yang sama.

Jika keyakinananya berbeda, kata dia, akan banyak menimbulkan pertentangan. “Akan menimbulkan suatu masalah. Lalu bagaimana bikin upacara perkawinannya?” kata dia mempertanyakan.

Jimmu menyarankan agar seserorang yang hendak mencari pasangan, untuk mempertimbangkan keyakinan calon pasanganya. Menurut dia, pilihan menikah dengan pasangan yang berbeda agama merupakan pilihan pernikahan yang tdak bijak.

Dia menyinggung adanya gugatan untuk mengajukan Judicial review ke Mahkamah Kosntitusi. Menurut dia, peninjauan kembali yang diajukan oleh alumni Fakultas Hukum Universitas Indoensia itu tiakan akan menyelesaikan masalah.

Dia mengatakan, pengajuan tersebut dapat menimbulkan urusan yang panjang. “Lebih baik, kita ikuti ajaran kitab suci masing-masing,” kata Jimmu.

Jimmu menyatakan, kendati manusia memiliki hak azasi manusia yang ada dalam setiap diri manusia, namun hak tersebut tidak bisa melanggar aturan yang lebih besar yang sudah tertata secara bijaksana. 

Lebih dari itu, dia berencana mengirim surat tanggapan kepada Mahkamah Konstitusi tentang hukum perkawinan dalam jarana Buddha. “Agar nanti menjadi pertimbangan di MK,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement