REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi kepala daerah Apeksi dan Apkasi merekomendasikan pemerintah untuk menarik diri dalam proses pembahasan dan penetapan RUU Pilkada di DPR.
Dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Airlangga (Unair), Haryadi mengatakan, rekomendasi itu merupakan bentuk perlawanan kepada kemendagri yang menjadi atasannya dalam struktur pemerintahan.
Di dalam struktur pemerintahan di Indonesia, kata dia, kepala daerah berada di bawah otoritas kemendagri.
"Jika para kepala daerah itu tidak setuju, bisa dikatakan sebagai pembangkangan kepada kekuasaan di atasnya. Sekaligus tidak mengapresiasi atasannya," tutur Haryadi kepada Republika, Kamis (11/9).
Menurutnya, penolakan para kepala daerah terhadap pilkada lewat DPRD itu menarik. Mengingat sebagian besar kepala daerah berlatar belakang dari partai.
Di satu sisi, menurutnya, itu sebagai bentuk kekecewaan kepala daerah terpilih terhadap partainya yang menginginkan pilkada oleh DPRD.
Di sisi lain, penolakan itu mengacu pada pengalaman mereka yang menganggap pilkada langsung berdampak positif lebih besar. Karena mereka merupakan pelaku langsung di lapangan.
Haryadi pun menilai, argumen efisiensi dalam pilkada tak langsung sebagai hal yang tidak relevan. Karena dalam pilkada langsung, calon kepala daerah harus mendapat rekomendasi dari partainya. Begitu pula dalam pilkada tak langsung.
Sementara, menurutnya, untuk mendapat rekomendasi tersebut calon sama-sama harus mengeluarkan biaya. Hanya saja, besaran biayanya berbeda antara satu partai dengan yang lain.
"Tidak ada jaminan tidak ada biaya di dewan. Bahkan setiap kandidat digorok oleh anggota dewan untuk mengeluarkan biaya," papar dia.