Kamis 11 Sep 2014 07:25 WIB

Serangan 11 September 2001 dan Senyum untuk Tony Blair

Yeyen Rostiyani
Foto: Republika/Daan
Yeyen Rostiyani

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Yeyen Rostiyani

Izinkan saya untuk melantur. Tiga belas tahun lalu, tepatnya 11 September 2001, sekitar pukul 09.00 waktu Amerika Serikat (AS), Presiden George W Bush sedang asyik mengunjungi sebuah sekolah. Ia terlihat duduk di kursi mungil, dikelilingi para murid.

Tiba-tiba Bush tampak terhenyak. Rupanya, ada peristiwa besar yang tak hanya mengguncang AS, namun juga menikam rasa kemanusiaan sekaligus mengubah wajah Islam di panggung internasional. Gedung World Trade Center (WTC) di New York City diledakkan. Dua pesawat menabrak Menara Kembar tersebut.  Sebuah pesawat lain diarahkan ke Pentagon, dan satu pesawat lainnya jatuh di Pittsburgh, Pennsylvania. Total, hampir 3000 orang dari berbagai bangsa tewas di Menara Kembar dan Pentagon.

Pada akhir Januari 2002, Republika dan sejumlah wartawan diundang pemerintah AS untuk mengunjungi Washington DC, New York City, dan Detroit. Kunjungan sekitar tiga pekan itu amat padat dengan pertemuan dengan sejumlah tokoh Muslim AS, imam di akademi militer di West Point, dan petinggi pemerintahan AS. Intinya, kami diminta untuk mendengar kesaksian mereka tentang kehidupan Muslim di AS, pascaserangan.

Kami sempat menyaksikan Ground Zero –sebutan setelah WTC hancur-- dari dekat, meski lokasi itu tertutup. Namun bunga, kartu, dan lilin masih memenuhi sekitar lokasi.

Ya, citra Islam memang dipertaruhkan sejak serangan tersebut. Namun, kami juga mendengar dari beberapa tokoh Muslim di AS –salah satunya tokoh asal Indonesia, Imam Shamsi Ali—bahwa simpati datang dari warga AS terhadap Muslim. Tak jarang mereka mendatangi masjid, mengulurkan tanda persahabatan. Sementara dialog antarkeyakinan pun makin gencar digagas, hingga kini.

Terlepas dari sorotan negatif terhadap Muslim, suasana unik pernah disaksikan Republika saat di Detroit, Michigan. Betapa tidak, khutbah Jumat disampaikan sejak awal hingga akhir, dalam bahasa Arab.

Wajah Islam pun berubah

Serangan 11 September 2001 memang mengubah dunia. Tak hanya peta politik yang berubah, jargon dan makna kata baru pun muncul. Salah satunya adalah jargon yang dipopulerkan Bush, “You are either with us or against us”. Saat itu, dunia seolah hanya dihadapkan dengan dua pilihan: jika tidak memihak AS, berarti Anda memilih memusuhi AS. Wow…!

Pelaku serangan dipastikan Usamah bin Ladin. Keberadaan sosok keturunan Arab Saudi ini diyakini dilindungi gerakan Taliban di Afghanistan.

Istilah lain yang juga populer pascaserangan adalah neokonservatif atau neokon yang juga disebut kelompok hawkish. Mereka adalah orang-orang yang memilih hard power atau jalan militer dalam menanggapi isu politik AS, termasuk terorisme. Merekalah di balik keputusan penting untuk menginvasi Afghanistan pada 2002 untuk menumpas Taliban. Invasi kemudian juga diarahkan ke Irak 2003. Semua dalam kerangka “war on terror”.

Namun, kata terorisme –atau teroris—pun memiliki makna baru. Setiap gerakan yang dilabeli kata ini berarti “sah” untuk diganyang. FBI mendefinisikan terorisme  --domestik mau pun internasional— dalam pasal 113 B menjadi beberapa poin. Namun, intinya terorisme adalah kekerasan yang membahayakan kehidupan manusia yang bertujuan mengintimidasi warga sipil.

Belakangan, berbagai negara ikut latah menggunakan istilah terorisme untuk aksi-aksi separatis atau pemberontakan domestik. Cina misalnya, langsung melabeli gerakan Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang sebagai teroris. Mengacu pada label itu, tentu menjadi sah-sah saja jika pemerintah memilih menumpas Muslim Uighur dengan cara militer. Toh mereka teroris, bukan?

Imbasnya bahkan lebih luas lagi di seluruh dunia. Islam dan penganutnya menjadi terkenal. Secara positif, banyak orang yang ingin tahu mengenai agama ini. Uniknya, Muslim di AS mengklaim bahwa penganut Islam malah bertambah pesat.  Cendikiawan dari Georgetown University di AS, Profesor John L Esposito, bahkan menyebutkan dalam sebuah wawancara dengan Republika, “Sekarang orang bisa dengan mudah menemukan Al quran atau buku tentang Islam di toko buku.”

Namun, jangan lupa. Imbas buruk pun menimpa citra Islam, Muslim, atau orang yang disangka Muslim. Anda mungkin masih ingat ketika seorang pemuda Sikh ditikam di Bradford, Inggris, karena ia dikira Muslim. Padahal, Bradford dikenal sebagai kota multikultural yang dihuni banyak pendatang asal Asia Selatan dan Eropa Timur.

Teroris pun nyaris selalu diidentikkan dengan Islam, saat pelakunya Muslim. Hal ini berbeda saat pelakunya beragama lain. Keluhan pelabelan Islam ini sempat dilontarkan Republika kepada seorang diplomat AS, Charles Silver, pada 2002. Anda mungkin ingat, di Indonesia sosok Silver dikenal ketika televisi AS menangkap momen ia menyapa Presiden Barack Obama dalam bahasa Indonesia, dan dijawab sang presiden AS dengan bahasa yang sama. Rekaman ini ditayangkan berulang kali di media elektronik kita. Nah… saya sudah melantur.

Lantas, apa jawaban Silver atas keluhan saya tentang label Islam yang melekat pada teroris?

“Karena para teroris itu sering mengidentifikasi mereka sendiri dengan Islam,” kata Silver.

Saya pun terdiam. Jawaban itu memang tidak salah. Kita akui, umat Islam memang punya Pekerjaan Rumah (PR) berat: mempromosikan wajah Islam yang damai ke dunia luar, sekaligus membendung nilai-nilai ekstrem yang berkembang dalam tubuh Muslim sendiri. 

Hantaman berikutnya kembali terjadi ketika pengeboman terjadi di London, 7 Juli 2005. Serangan yang menewaskan 52 orang dan mencederai sekitar 700 orang ini ditenggarai dilakukan sejumlah orang yang diidentifikasi sebagai Muslim. Lagi-lagi, citra Islam dan Muslim menjadi sorotan.

Pada 2008, Esposito dan Dalia Mogahed menerbitkan buku Who Speaks for Islam? Ketika buku tersebut diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia, cendikiawan yang mendalami Islam lebih dari tiga dekade ini menuturkan pengalamannya berbicara mengenai Islam.

Dalam wawancara dengan Republika, Esposito menyebutkan bahwa citra Islam justru lebih buruk dibandingkan saat baru terjadi serangan 11 September 2001. Pasalnya, serangan yang mengatasnamakan Islam juga terus muncul.

Adakah Esposito merasa jemu saat berbicara tentang Islam? Ia tak menjawab langsung.

“Kadang, saya banyak berbicara dan menjelaskan tentang Islam. Namun, pada saat yang bersamaan, hal-hal yang menodai citra agama ini juga terus terjadi, misalnya pengeboman 7 Juli 2005 di London. Jadi harus bagaimana lagi?” ujar Esposito kepada Republika saat itu.

Mau tak mau, semua noktah kejadian itu mengingatkan saya pada pertemuan Republika dengan PM Ingggris, Tony Blair pada 2006 silam. Saat itu ia berkunjung ke Jakarta. Misi memerangi terorisme tetap menjadi agenda utama, seperti halnya misi tokoh-tokoh lain yang mengunjungi Indonesia.

Pada akhir wawancara, Republika menyerahkan kenang-kenangan berupa karikatur tokoh Partai Buruh ini. Saat itu Republika memasang kutipan hadits tentang senyum pada bagian bawah karikatur.

"And your smiling in the face of your brother is charity, your removing of stones and thorns from people's paths is charity, and your guiding a man gone astray in the world is charity for you."

Republika menjelaskan, kutipan itu adalah ucapan dari Nabi Muhammad saw. Blair saat itu tampak sedikit terhenyak.

“Benarkah?” ujar Blair. Di tengah waktu wawancara yang diburu-buru karena habis, ia malah membaca keseluruhan kutipan hadits itu.

Republika mungkin saja keliru menginterpretasi reaksi Blair saat itu. Namun, di tengah citra Islam yang saat itu terpuruk –apalagi hanya setahun setelah pengeboman di London—hadits itu mungkin memberi beliau gambaran baru terhadap Islam bahwa senyum pun bermakna sedekah dalam agama ini. Sungguh Islam yang jauh dari potret kekerasan.

Agaknya, ujian kali ini pun tak kalah hebatnya. Gerakan Boko Haram di Nigeria dan Islamic State (tadinya ISIS atau ISIL) yang banyak bergerak di wilayah Irak dan Syria jelas-jelas mengeruhkan nilai Islam yang digadang-gadang sebagai agama damai. Kedua gerakan militan ini bahkan tak segan menumpahkan darah manusia dan merenggut kehormatan kaum wanita –mengatas namakan Islam.

Untungnya, kali ini mayoritas umat Islam dunia serentak mengecam kedua gerakan tersebut. Umat Islam bahkan berlomba-lomba membangun pagar untuk mengisolasi Boko Haram dan IS. Meski, ada juga yang bersimpati. Reuters bahkan menyebut militan IS berasal dari 74 negara.

Ah, sejak mencuri perhatian dunia pada 11 September 13 tahun silam, kini citra Islam lagi-lagi dalam ujian…

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement