REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Biaya politik untuk kampanye memang jadi lebih besar dan kebanyakan korupsi yang melilit kepala daerah itu adalah akibat biaya besar.
Sedangkan iuran dari anggota partai tidak ada. Calon kepala daerah mencari dana sponsor dari pihak swasta atau mengambil dari anggaran daerah.
"Bahkan, ada juga sistem ijon, yaitu dapatkan dana dari pihak tertentu untuk pilkada baru dibayar balik lewat proyek ketika calonnya menang," kata pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Riau Husnu Abadi Abadi kepada Antara di Pekanbaru, Rabu.
Karena itu, ia menilai DPR RI dalam RUU Pilkada seharusnya mempertahankan proses demokrasi yang sudah berjalan sekarang dengan melakukan penegakan hukum yang lebih tegas.
Berikan kewenangan bagi KPK, KPU maupun penegak hukum lainnya dengan aturan yang lebih tegas lagi.
Mengenai sumbangan kepada calon kepala daerah harus lebih transparan, dan buat KPU supaya bisa langsung mendiskualifikasi yang langgar aturan.
"Cuma aturan itu sampai sekarang memang dibuat supaya tidak bisa keras," katanya.
Husnu menyangsikan kesiapan Pilkada lewat DPRD akan lebih baik hasilnya karena politik transaksional masih sangat kental di dalam perpolitikan saat ini. Apalagi ketika melihat proses ini akan kembali seperti saat Orde Baru dengan tradisi pemilihan oleh DPRD penuh dengan pengarahan.
"Misalkan ada koalisi partai politik mereka sepakat dan memutuskan satu calon, sudah selesai dengan yang segelintir ini bisa menentukan kepala daerah. Paling buruknya kalau ada cukong beli koalisi partai, selesai juga pilihannya itu ditentukan sesuai permintaan cukong yang memodali," katanya.