REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai pendukung pilkada lewar DPRD tergabung dalam parpol penakut. Mereka takut kepada pemilih, takut jika dievaluasi, takut menjadi terbuka, dan takut diawasi.
Ketakutan pertama, menurut Masykurudin, parpol takut dekat dengan pemilih. Pilkada langsung merupakan kesempatan partai di tingkat lokal untuk menjalin kedekatan dan komunikasi dengan pemilih. Terutama pada masa kampanye.
"Dengan pilkada lewat DPRD, partai takut akan sikap kritis pemilih yanh mulai cerdas menentukan pilihan politiknya," kata Masykurudin, di Jakarta, Selasa (9/9).
Kedua, lanjut dia, partai takut dievaluasi. Pada level eksekutif, pemilih berhak memberikan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan.
Bila pemilih menilai selama kepemimpinannya kepala daerah yang dicalonkan partai tertentu dipandang buruk. Maka pemilih berhak untuk tidak lagi memilih calon dari partai tersebut.
Ketakutan ketiga, Masykurudin menilai parpol takut menjadi terbuka. Dalam pilkada langsung, aspek keterbukaan dari partai menjadu kunci kemenangan.
"Semakin partai membuka diri terhadap proses pencalonan, semakin membuka peluang menang. Bila kembali ke DPRD, partai ketakutan terhadap apa yang terjadi di internal parpol," ungkapnya.
Ketakutan keempat, Masykurudin menilai parpol takut dipantau. Dalam pilkada langsung, elemen organisasi masyakarat sipil memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal.
"Kalau kembali ke DPRD, parpol takut terhadap pemantauan kinerja pemerintahan oleh masyakarat. Karena fungsi pemantauannya menjadi terbatas," kata dia.
RUU Pilkada direncanakan akan disahkan pada 12 September nanti. Pada perkembangan pembahasan sebagian besar fraksi di DPR mendukung pilkada langsung atau lewat DPRD.
Pilihan ini didukung enam fraksi, yakni Fraksi Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Partai Gerindra. Pilkada langsung hanya didukung Fraksi PDIP, PKB, dan Partai Hanura.