Selasa 09 Sep 2014 06:15 WIB

Kalau Dipilih DPRD, Kepala Daerah Bisa Dimakzulkan Kapan Saja

Pilkada Provinsi Nusa Tenggara Barat.    (ilustrasi)
Foto: Antara
Pilkada Provinsi Nusa Tenggara Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti lembaga analisa ekonomi, politik, dan kebijakan publik, Nuruzzaman Amin, menyatakan kepala daerah jika menjadi mandataris DPRD bisa dimakzulkan kapan saja. “Hal ini akan mengembalikan ke rezim sentralisasi, bukan lagi desentralisasi di Kabupaten/Kota,” paparnya, di Jakarta, Senin (8/9).

Desentralisasi memberikan kewenangan besar ke Kabupaten/Kota karena Kepala Daerah mempunyai legitimasi politik tinggi melalui Pilkada Langsung, dengan dipilih oleh DPRD, legitimasi tersebut menjadi hilang.

Rezim Pemilu dengan penguatan Bawaslu dan KPU menjadi tidak ada gunanya. Lembaga penyelenggara Pemilu jadi tidak berfungsi. “Terlihat bahwa RUU Pilkada ini bertentangan dengan Paket UU Pemilu yang saat ini ada,” paparnya.

Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD menghilangkan Hak Perorangan (Calon Independen) untuk dapat dipilih menjadi Kepala Daerah. Padahal hak mereka dijamin oleh Undang- Undang dan Mahkamah Konstitusi.

Pemilu Serentak mulai 2019 yang merupakan Putusan Mahkamah Konstitusi terancam gagal dilaksanakan.

Lanskap melihat upaya mengembalikan Pilkada melalui DPRD tidak lebih dari upaya sebagian partai politik untuk mengambil alih sumberdaya yang dikucurkan ke Kabupaten/Kota maupun Propinsi.

“Kami berharap partai politik bisa bersikap lebih dewasa dan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,” imbuhnya.

Pihaknya merekomendasikan agar komisi II DPR RI untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU Pilkada yang saat ini masih kontroversial.

Kemendagri seharusnya bersikap menunggu dan tidak mengambil tindakan yang strategis mengingat hanya tinggal sebulan lagi pemerintahan beralih ke Jokowi – JK.

Partai-partai politik agar mampu duduk bersama dan tidak terjebak pada koalisi yang saling menjatuhkan, karena akhirnya rakyat yang menjadi korban.

Parlemen dan Pemerintah agar membuka ruang diskusi dengan kelompok masyarakat lain seperti universitas dan masyarakat sipil agar mendapat masukan yang lebih komprehensif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement