Senin 08 Sep 2014 07:21 WIB
Munir Ada dan Berlipat Ganda

Rumah Munir, Sepuluh Tahun Setelah Dia Pergi (2-habis)

Rep: c54/ Red: Joko Sadewo
Tokoh HAM Indonesia, Munir, dan rencana nama jalan di Den Haag yang diajukan pemerintah Belanda.
Foto: RNW
Tokoh HAM Indonesia, Munir, dan rencana nama jalan di Den Haag yang diajukan pemerintah Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID, “Munir Ada dan Berlipat Ganda” begitu bunyi tema kegiatan tersebut, seperti tertulis dalam spanduk yang menjadi latar panggung. “Jika Anda bertanya siapa itu Munir, pulang dan bercerminlah. Anda adalah Munir. Anda yang memperuangkan kehidupan adalah Munir,” ujar Vincent, pegiat HAM yang didaulat mencjadi pemandu acara.

Kampanye “melawan lupa” yang terus digaungkan rekan-rekan Munir dan para pegiat HAM di Tanah Air terbukti tak sia-sia. Di salah satu sudut di Omah Munir, Republika Online (ROL) bertemu Zeze dan Bai. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, kampus almamater Munir.

Sebelum berkuliah, Zeze mengaku tak mengenal sama sekali Munir. “Pertama kali tahu Munir itu tahun 2012. Waktu itu banyak mahasiswa berdemonstrasi di jalan. Oh, baru saya tahu, mereka memperingati meninggalnya Munir,” ujar dia.

Sejak tahu tentang Munir, Zeze tak lantas menjadi aktivis atau demonstran. Dia malah mengaku tidak terlalu simpatik dengan demonstrasi. Zeze tetap hanya mahasiswa biasa yang belajar, pulang dan main bersama kawan-kawannya.

Meski begitu, perempuan berkerudung itu mengaku, sosok Munir adalah teladan yang bisa menjadi contoh. “Ya, kita harus peduli sama sesama. Misal kalau teman saya perlu bantuan, saya akan mengusahakan untuk membantu,” ujar dia sambil melirik kawannya yang menyungging senyum.

Pendapat lebih ‘politis’ diutarakan Fajar (24). Fajar adalah salah seorang komika asal Malang yang tampil menghibur hadirin dengan lelucon bermuatan isu politik dan HAM. Bagi Fajar, Munir mengajarkan satu pesan, bahwa HAM adalah mutlak menjadi milik setiap orang. “Tapi harus ingat, hak orang lain adalah batasan dari hak kita,” ujar dia.

Ahad sore itu, Omah Munir didominasi wajah muda-mudi. Jumlahnya ratusan, hingga meleber tak tertampung kursi dan tenda. Di dalam, museum kecil Omah Munir juga disesaki pengunjung. Sebagian sibuk mengambil gambar berlatarbelakang replika, patung dan foto-foto Munir.

Beruntunglah mereka. Generasi muda yang telah berkenalan dengan sosok dan pemikiran Munir. Merekalah adalah tunas-tunas Munir yang kini tersebar di seluruh penjuru negeri.

Sementara itu, Suciwati, pejuang HAM yang juga istri almarhum Munir, tampak sibuk hilir-mudik menyapa orang-orang. Republika tak menyia-nyiakan kesempatan begitu melihat Ibu dua anak itu lepas dari kerumunan orang.

Singkat saja Suciwati memberi komentar. Seperti biasa, air wajahnya selalu emosional jika diminta berpendapat soal tragedi yang merengggut suaminya. “Boleh saja pemerintah tidak peduli, tapi masih banyak rakyat yang akan menyuarakan ini. Tak hanya di di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Kami akan menagih sampai kapanpun,” ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement