REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Sri Budi Eko Wardani mempertanyakan anggaran pilkada yang dinilai boros. Anggapan itu dinilai mengesampingkan amanat pemilu secara demokrasi.
Sri mengatakan, selama masa Orde Baru dengan sistem sentralistik pemerintah merugikan masyarakat dan menutup akses publik. Perubahan konstitusi yang memberikan amanat pemilihan secara demokrastis merupakan proses panjang mengembalikan demokrasi bagi rakyat.
"Apakah salah pilkada langsung? Konteks politik di balik pilkada langsung menjadi campur aduk. Alasan pansus mengembalikan pemilu kepala daerah kepada DPRD hanya soal efisiensi anggaran. Seolah demokrasi dan partisipasi masyarakat boros anggaran," kata Sri di Jakarta, Jumat (5/9).
Dia mempertanyakan apa yang dimaksud biaya tinggi dimana? Apakah itu dalam proses pencalonan atau penyelenggaraan.
Berdasarkan hasil kajian, estimasi biaya pencalonan oleh kandidat hampir sama, bahkan melampaui biaya penyelenggaraan pemilu. Biaya pencalonan yang mahal disebabkan kandidat harus bayar partai untuk koalisi, rekomendasi partai memakai uang dan biaya iklan atau survei.
Menurutnya, biaya penyelenggaraan bisa diestimasi. Berdasarkan informasi, satu pilkada gubernur bisa menghabiskan biaya Rp 60 miliar untuk dua putaran. Artinya, satu putaran hanya Rp 30 miliar. Sedangkan untuk pilkada kabupaten/kota dipastikan lebih murah.
"Kita bisa ambil penghematan sana-sini. Yang enggak bisa diminimalisasi biaya pencalonan. Biaya yang dikeluarkan kandidat, lebih besat dari penyelenggaraan Seharusnya biaya pencalonan yang dikritisi, bagaimana rekrutmen dan kaderisiasi," terangnya.
Saat ini DPR tengah melakukan pembahasan RUU Pilkada. Dalam pembahasan tersebut ada perbedaan pandangan antara fraksi dengan pemerintah. Antara lain, proses pilkada secara langsung atau dipilih oleh DPRD.