REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Choirul Huda menjadi saksi ahli dalam kasus Hambalang untuk terdakwa Anas Urbaningrum. Dalam keterangannya, ia menyoroti dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang disematkan kepada Anas.
Menurut dia, sebelum dakwaan primer dapat dibuktikan, maka sejatinya tuntutan TPPU tak dapat dibenarkan. Dia melandaskan ucapannya pada Pasal 74 UU TPPU tentang penyidikan pencucian uang dilakukan penyidik dalam tindak pidana asal sesuai ketentuan hukum acara.
“Dan di sini yang dimaksud penyidik tindak pidana asal adalah kejaksaan, kepolisian, KPK, bea cukai dan dirjen pajak. Ini di tahap penyidikan, untuk penuntutan? tidak bisa,” kata dia di depan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kamis (4/9).
Choirul menambahkan, sesuai dengan pandangan keahliannya, kewenangan masuknya TPPU dalam tuntutan sudah dibatasi peradilan. Dia menjelaskan, kewenangan dalam penyidikan dan menuntut dalam TPPU dianggap sebagai yurisprudensi yang tidak bisa dijadikan dasar.
“Sifatnya hanya atributif sehingga Majelis Hakim tak perlu harus membuat keputusan yang menyangkut tuntutan TPPU kepada terdakwa,” kata dia.
Apa yang Choirul sampaikan, juga pernah menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim di awal rangkaian persidangan Anas dua bulan lalu. Saat itu, dua hakim anggota, hakim ad hoc Tipikor Slamet Subagyo dan Joko Subagyo mengajukan dissenting opinon terkat dakwaan TPPU Anas.
Menurut keduanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK tak memiliki kewenangan dalam menuntut TPPU. Pendapat dua hakim ad hoc ini sama dengan eksepsi Anas yang menilai JPU KPK tak berwenang menuntut pencucian uang.
Akan tetapi, saat itu pendapat keduanya kalah suara dari tiga hakim lain termasuk ketua majelis Hakim Haswandi. Proses persidangan pun tetap dilanjutkan dengan menyertakan dakwaan TPPU.