Kamis 04 Sep 2014 10:43 WIB

Jakarta Terancam Ambles

Rep: c57/ Red: Karta Raharja Ucu
Lambang Ibu Kota Jakarta, Monumen Nasional.
Foto: Antara
Lambang Ibu Kota Jakarta, Monumen Nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, WARUNG BUNCIT -- Konservasi sumber daya air di kota-kota besar, dinilai kalah cepat dengan faktor-faktor penyebab kerusakan. Akibatnya, muncul krisis air bersih di sejumlah kota besar, seperti DKI Jakarta.

Pernyataan itu disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Rabu (3/9). Kita semua, kata Sutopo, paham dengan faktor-faktor penyebab permasalahan krisis air di Jakarta dan wilayah pesisir lainnya. "Tapi apa yang kita lakukan kalah cepat untuk mengantisipasi hal itu," kata Sutopo.

Sutopo yang juga pakar hidrologi itu mencontohkan, semua masyarakat tahu suatu ekosistem dapat berjalan sempurna jika kawasan hijau sebagai resapan air sebanyak 30 persen dari ekosistem. Namun, hal itu hanya sebatas menjadi pengetahuan saja karena tidak dijalankan. Penyebabnya, menurut Sutopo mekanisme pasar yang lebih kuat, keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan sering kali di bawah 30 persen.

Dalam penanganan bencana, Sutopo menegaskan BNPB pernah melakukan survei dengan metode knowledge (pengetahuan), atitude (perilaku) dan practice (praktik sehari-hari) yang disingkat menjadi survei KAP.

"Ternyata pengetahuan masyarakat tentang masalah kerusakan sumber daya air sudah meningkat, pengetahuan tentang intrusi air laut ke dalam air tanah sudah meningkat. Namun, pengetahuan itu belum menjadi perilaku apalagi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari," tuturnya.

Akibatnya, kata Sutopo, akumulasi kerusakan sumber daya air semakin meningkat. Masyarakat sendiri yang akan dirugikan karena kualitas lingkungan merosot yang bisa berujung pada sebuah bencana.

Ia berpendapat, salah satu penyebab munculnya masalah kerusakan sumber daya air di Jakarta adalah pengambilan air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam, yang tidak dikendalikan.

Di sisi lain, jumlah air yang masuk kembali ke tanah relatif minim. Diperkirakan air hujan yang turun di Jakarta 2.000 juta meter kubik per tahun. Hanya 532 juta meter kubik per tahun atau 26,6 persen yang masuk ke tanah karena 1.468 juta meter kubik atau 73,4 persen mengalir ke laut.

Dari kawasan Bogor, Jakarta mendapat pasokan air tanah 37 juta meter kubik per tahun. Sementara, potensi air tanah dangkal Jakarta hanya 492 juta meter kubik per tahun. "Dan air tanah dalam 77 juta meter kubik per tahun," ucap dia.

Dijelaskan Sutopo, batas aman pengambilan air bawah tanah adalah 30-40 persen dari potensi atau sekitar 185 juta meter kubik per tahun. Namun, pada 2005 saja, masih kata Sutopo, Jakarta mengalami defisit air tanah sebesar 66,65 juta meter kubik per tahun.

"Akibatnya, amblesan muka tanah di Jakarta rata-rata 3,5 centimeter per tahun. Sementara, kenaikan muka laut mencapai 4,38 milimeter hingga tujuh milimeter per tahun," ungkap dia.

Anggota bidang teknik Badan Regulator Air Minum Provinsi DKI Jakarta, Tano Baya, menyatakan, kualitas air tanah di Ibu Kota terus mengalami penurunan akibat intruisi air laut. Intrusi air laut adalah menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya.

Imbasnya air tanah di Jakarta ikut menjadi asin dan tidak tawar. "Permukaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta terus menurun akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan, baik oleh korporasi maupun individu,” kata Tano.

Tano berkata, menurunnya permukaan air tanah, otomatis air laut akan merembes ke dalam tanah sehingga rasanya pun tidak tawar lagi. Padahal, Pemprov DKI sudah mengeluarkan peraturan daerah (perda) perihal larangan bagi korporasi maupun individu untuk menggunakan air tanah di wilayah yang telah terpasang jaringan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI Jakarta.

Pemprov DKI pun terus berupaya memperluas wilayah jaringan pemasangan instalasi PAM ke seluruh wilayah di Ibu Kota. “Pengaturan penggunaan air tanah dalam sudah ada, termasuk permohonannya, evaluasi, dan perijinan yang dikendalikan oleh Pemprov DKI Jakarta,” ucap Tano Baya.

Jadi, pemilik fasilitas air minum di wilayah DKI Jakarta tetap PDAM DKI Jaya. Hanya pengelolaan teknisnya saja yang kerja sama dengan PT Aetra dan PT Palyja. “Kerja sama operasional antara PDAM DKI Jaya dan kedua perusahaan itu akan berlangsung selama 25 tahun, tepatnya sejak 1998. Sampai saat ini, kontrak kerja sama masih berlangsung dengan PT Palyja dan Aetra,” ujar Tano Baya.

Diungkapkannya pada 2013, PT Palyja sempat ingin diakuisisi PT Manila Water. Namun, rencana kerja sama itu tidak terlaksana karena PT Manila Water tidak memenuhi syarat yang diajukan Pemprov DKI. “Saat ini, di beberapa wilayah DKI Jakarta, seperti Thamrin dan sekitarnya, korporasi dan individu telah dilarang sama sekali menggunakan air tanah. Kecuali untuk cadangan jika air PDAM mati,” ucap Tano.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement