REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Anggota Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Sundari, mengatakan pemberantasan korupsi di Indonesia harus mendapat dukungan komitmen lembaga pemerintahan dalam pencegahan. Sebab, kebanyakan korupsi dilakukan secara terencana.
Eva menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) satu-satunya instansi yang berperan signifikan dalam menentukan indeks korupsi di Indonesia membaik atau memburuk.
“Keberanian KPK dalam menyoal, mengkasuskan dan memenjarakan pejabat-pejabat tinggi ini merupakan sesuatu yang luar biasa bagi lembaga pemberantasan korupsi di negara lain,” kata Eva saat dihubungi Republika, Jumat (29/8).
Keberanian KPK tersebut membuat indeks pemberantasan korupsi di Indonesia semakin membaik. Berbeda dengan negara Filipina, Eva mencontohkan, untuk memproses pejabat yang terlibat korupsi harus menunggu sampai pejabat itu pensiun. “Kalau KPK, Wapres saja dipanggil. Ini merupakan terobosan membongkar hal-hal yang tabu,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Indonesia ditunjuk oleh Global Organization of Parlementarians Against Corruption (GOPAC) menjadi tuan rumah Konferensi Global Dewan Pemberantasan Korupsi pada 2015. Eva menilai parlemen sudah menunjukkan peningkatan yang terukur dalam pemberantasan korupsi.
Namun Eva menyayangkan pengesahan Undang-Undang MPR DPR DPD dan DPRD (UU MD3) terdapat sekelompok elite di DPR yang membubarkan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN).
Problem korupsi di Indonesia, kata Eva, dikarenakan adanya ketidak patuhan kementerian dan lembaga negara terhadap rekomendasi keuangan. Padahal KPK dan BAKN sudah merekomendasikan penghentian program bantuan sosial (bansos)dan kunjungan kerja yang dianggap tidak penting. Justru di dalam penyelenggara pemerintah para kuasa anggaran tidak kooperatif dan etikanya belum pada sikap antikecurangan.
Semua tindakan korupsi, lanjutnya, merupakan by design atau sudah dirancang sejak awal karena lemahnya kontrol internal. Kalau pemerintah tidaka mau mencegah secara efektif, dikhawatirkan korupsi akan terus berlanjut.
“KPK sudah benar tapi respon pemerintah belum positif. Di Hongkong pemerintah mau membuat pelabuhan konsultasi dulu ke KPK. Jadi tidak bisa semuanya diserahkan kepada KPK,” jelasnya.