REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Airlangga, Haryadi mengatakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) cepat atau lambat akan terjadi.
Karenanya, pemerintah kerepotan karena langkah yang akan diambil sama sekali tidak populer dan dibenci masyarakat.
Bahkan, pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) di Bali diperkirakan ikut membahas momentum kenaikkan harga BBM. Apakah pada saat pemerintahan saat ini atau menunggu pemerintahan Jokowi mendatang.
"Pengurangan subsidi yang berdampak pada kenaikan BBM menunjukan kegagalan pemerintahan SBY dalam menggapai target pajak. Sehingga keuangan negara mengalami defisit," ujar Haryadi saat dihubungi Republika, Kamis (28/8).
Ia menjelaskan, target perolehan pajak untuk satu tahun belakang jauh dari harapan. Bahkan, berdampak pada keuangan negara. Sehingga solusi paling mudah adalah dengan mengurangi subsidi BBM.
Ia menambahkan, kenaikan BBM akan menjadi hal yang tidak mengenakan bagi Jokowi pada awal pemerintahannya. Namun, komunikasi yang mulai terjalin antara Jokowi dan SBY diharapkan ikut membantu menyiapkan pemetaan dampak dari kenaikan BBM.
"Sesungguhnya pengurangan subsidi tidak masuk akal. Seandainya nanti BBM naik dan Jokowi yang mengumumkan kenaikannya maka itu akibat kegagalan SBY dalam mencapai target pajak," paparnya.