REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo mengatakan jika Indonesia tidak segera melakukan aksesi terhadap Kerangka Kerja Pengendalian Produk Tembakau atau FCTC, maka Tanah Air dapat menjadi "keranjang sampah" produk tembakau yang berbahaya bagi kesehatan.
"FCTC harus segera diaksesi oleh Indonesia. Karena jika tidak maka Indonesia akan menjadi 'keranjang sampah' andalan produsen dan pertanian tembakau dari negara lain untuk memasarkan produknya," kata Prijo di Jakarta, Selasa.
FCTC merupakan perjanjian internasional tentang pembatasan produk tembakau lantaran sifatnya yang adiktif dan berbahaya bagi kesehatan. "Tanpa aksesi FCTC hanya akan membuat Indonesia terus menjadi negara tujuan ekspor produk tembakau dari negara lainnya," kata dia.
Berdasarkan kajian kesehatan, produk-produk tembakau memicu berbagai permasalahan penyakit. Artinya, jika produk itu membanjiri Indonesia maka risiko kesehatan bagi masyarakat akan semakin besar.
Prijo mengemukakan, produk tembakau tidak memberikan manfaat bagi petani dan buruh tembakau. Karena yang paling diuntungkan adalah pemilik industri rokok dan tengkulak.
"Ini terbukti dengan meningkatnya impor tembakau, sementara pertanian tembakau dalam negeri tidak berkembang dan sebagian besar petani tembakau termasuk dalam garis kemiskinan," katanya.
Aksesi sendiri merupakan tindakan formal satu negara yang merupakan penegasan keterikatan terhadap perjanjian tertentu di tingkat internasional yang telah dipeloporinya. Sementara ratifikasi dilakukan oleh negara yang bukan menjadi penandatangan awal dari perjanjian tersebut.
Bagi Prijo, tembakau merupakan salah satu komoditas yang memicu kebangkrutan ekonomi mikro bagi masyarakat kecil. Karena selain mereka mengeluarkan biaya untuk membeli produk tembakau, mereka juga menanggung risiko terkena gangguan kesehatan akibat rokok.
"Tembakau adalah satu jenis produk yang bertanggungjawab atas kematian yang didahului oleh kebangkrutan ekonomi mikro dan kesengsaraan dari hampir lima juta orang di seluruh dunia," kata dia.
Menurut dia, cukai tembakau yang didapatkan oleh negara tidak setara dengan akibat gangguan kesehatan yang dipicu oleh produk tembakau. Cukai tembakau menjadi andalan pendapatan negara sehingga perolehannya terus digenjot.
Cukai tersebut sejatinya digunakan sebagai alat pengendalian tembakau. Pada 2013, penerimaan cukai Rp55 triliun itu hanya Rp130 miliar yang digunakan sebagai biaya promosi kesehatan. Sementara itu, industri rokok menganggarkan Rp2 triliun untuk promosi produk.