Selasa 26 Aug 2014 06:00 WIB

69 Tahun Merdeka

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Bahwa bangsa Indonesia ingin sekali memperoleh kemerdekaan puluhan tahun yang silam adalah sebuah keinginan yang teramat luhur, tak ada kekuatan manapun di muka bumi yang dapat menghalanginya. Dipelopori oleh kaum nasionalis idealis sebagai para bapak bangsa, maka pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sekalipun Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakuinya.

Penjajah ini memang tidak punya malu. Padahal telah diusir Jepang dari bumi Indonesia pada bulan Maret 1942 tanpa perlawanan.

Suasana antusiasme batin rakyat saat itu sungguh luar biasa. Ali Sastroamidjojo, misalnya, menggambarkan suasana proklamasi itu dalam kutipan di bawah ini:

"Reaksi kami sukar saya gambarkan di sini. Isteri saya yang tidak sering saya melihat menangis, waktu itu tiba-tiba duduk diam-diam seperti orang termenung dan air mata bertetesan dari matanya. Saya pun merasa sangat terharu. Bermacam-macam kenangan dari zaman yang lampau timbul di pikiran saya. Indonesia merdeka! Kata-kata yang melambangkan cita-cita bangsa kita dan yang sudah begitu lama kita perjuangkan dengan penuh penderitaan dan pengorbanan sudah menjadi kenyataan! Bangsa kita, negara kita sudah merdeka."

"Bermacam-macam emosi timbul di hati saya. Rasa gembira bercampur dengan rasa sedih. Gembira karena saya masih diperkenankan Tuhan untuk mengalami cita-cita bangsa kita tercapai, dan sedih karena ingat pada kawan-kawan seperjuangan yang tidak ada lagi di antara kita dan tidak bisa menikmati hasil dari perjuangan dan pengorbanan mereka. (Lihat Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Jakarta: PT Kinta 1974, hlm 140).

Ali adalah di antara bapak bangsa yang turut berjuang untuk kemerdekaan melalui Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda awal 1920-an. Testimoni Ali di atas adalah autentik. Dia paham betul bagaimana sulitnya dulu memperjuangkan kemerdekaan itu karena Belanda masih mau bertahan di negeri kaya ini untuk waktu yang tak terbatas.

Di antara pejuang yang tidak sempat menghidup udara kemerdekaan itu adalah HOS Tjokroaminoto, bapak seluruh kaum nasionalis karena sudah wafat pada tahun 1934. Tetapi roh antipenjajahannya diteruskan oleh semua anak didiknya, termasuk Soekarno.

Tokoh lain yang juga tidak sempat mengalami detik proklamasi kemerdekaan itu adalah Dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang wafat tahun 1943. Dan masih banyak yang lain yang telah memberikan jiwa dan raganya untuk merebut sebuah kemerdekaan yang teramat mahal itu.

Ketika pernyataan kemerdekaan itu disampaikan, penduduk Indonesia baru sekitar 70 juta, sekarang sudah berada pada angka 250 juta, sebuah ledakan demografis yang cukup dahsyat dan mengerikan. Tingkat buta huruf pun sekarang yang masih tersisa sekitar lima persen, dibandingkan 90 persen pada 1945, berkat kemerdekaan.

Tuan dan puan janganlah bermimpi bahwa rezim penjajahan punya niat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena bangsa yang cerdas pasti akan melawan tuannya. Faktanya, jangankan seluruh anak bangsa menjadi cerdas, dengan segelintir pemimpin cerdas saja, Belanda telah kewalahan.

Sungguh tepat bunyi alinea pertama Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kalimat ini adalah saripati pengalaman hidup manusia terjajah, kemudian diabadikan dalam Pembukaan UUD.

Itulah sekadar kilas balik saat kita merayakan 69 tahun usia kemerdekaan. Banyak yang sudah dicapai, tetapi lebih banyak lagi yang belum diwujudkan bagi tegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan merata untuk seluruh rakyat.

Angka kemiskinan masih sangat tinggi, di tengah-tengah kemakmuran melimpah bagi segolongan kecil. Pertumbuhan ekonomi sama sekali tidak berbanding lurus dengan proses pemerataan. Inilah di antara masalah besar yang harus dijawab oleh pemerintah yang akan datang. Rakyat pun harus mau bekerja keras dengan disiplin yang tinggi.

Tetapi, di atas itu semua, kita wajib bersyukur kepada Allah karena atas pertolongan-Nya kemerdekaan Indonesia telah berusia 69 tahun. Semoga hari depan bangsa ini akan jauh lebih adil dan lebih baik menjelang usianya mencapai satu abad. Membiarkan kemiskinan terus berlanjut adalah pengkhianatan telanjang terhadap seluruh cita-cita luhur kemerdekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement