REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wilayah laut Indonesia sekitar dua per tiga dari total luas NKRI. Karena itu, Indonesia dijuluki sebagai negara maritim. Untuk berdaulat secara politik maka Indonesia perlu kemampuan dan kekuatan diplomasi yang ditunjang dengan hukum positif maupun konvensi hukum internasional yang telah diratifikasi.
"Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia harus memberikan rasa kepastian dan perlindungan keamanan bagi seluruh aktivitas yang lewat di laut yurisdiksi Indonesia," kata Laksamana Madya (Purn) Yosaphat Didik Heru Purnomo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (25/8).
Menurut dia, pada saat ini, bidang organisasi pertahanan, TNI menjadi satu-satunya alat untuk penegakan kedaulatan. Sedangkan, di bidang keamanan penegakan hukum laut dilaksanakan beberapa instansi, di antaranya TNI AL, Polri, bea cukai, dan imigrasi. Banyaknya instansi itu bisa dimanfaatkan oleh badan hukum yang melakukan kegiatan ilegal lantaran pintar mencari celah aturan berlaku.
Fakta itu menandakan bahwa terjadi tumpang tindih yang berlebihan dan sulitnya berkoordinasi di laut. "Ini menandakan masyarakat maritim dunia menjadi rancu dalam melaksanakan kegiatan di Indonesia, baik di bidang pelayaran maupun industri jasa maritim," ujar ketua Institut Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (IK2MI) tersebut.
Didik menyatakan, sebagai negara maritim maka potensi itu harus disadari dan dibudayakan kepada seluruh bangsa Indonesia. Untuk menjadi poros maritim dunia, diperlukan pemerintahan yang fokus, terintegrasi, penegakan hukum tanpa pandang bulu sebagai perwujudan pemerintahan yang kuat di laut.
Hal tersebut menjadi syarat agar terwujud kemampuan diplomasi yang unggul demi bisa berinteraksi, berdiplomasi dengan negara tetangga, baik regional maupun global. Untuk itu, diperlukan inisiatif dan sumber daya manusia (SDM) maupun organisasi yang mumpuni agar terlibat dalam percaturan global.
Mantan wakil kepala staf Angkatan Laut (KSAL) itu melanjutkan, kedaulatan di bidang pertahanan untuk menjadi poros maritim dunia diperlukan perubahan yang mendasar di dalam pranata hukum, sehingga mengurangi jumlah instansi yang melaksanakan hukum di di laut.
Tujuannya, sambung dia, untuk efisiensi, efektivitas, dan kredibilitas pemerintah RI di mata dunia. "Hal itu diperlukan adanya political will dari pemerintah tidak hanya sebatas menjadi slogan poros maritim dunia serta menghilangkan ego sektoral masing-masing instansi untuk menjadi satu organisasi yang melaksanakan tugas pemerintahan di laut," ujar Didik.
Staf Ahli Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Djoko Tjahjo Purnomo mengakui, agar Indonesia diakui sebagai poros maritim dunia maka perlu dibereskan dulu banyaknya aturan yang saling tumpang tindih di laut. Dengan banyaknya instansi yang bisa menegakkan aturan di laut, kata dia, maka hukum malah sulit dijalankan.
Hanya saja, ia mengaku bersyukur, lantaran instansinya bakal berubah menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Dengan begitu, instansinya bisa melakukan tindakan lebih tegas untuk menjalankan aturan di laut, yang kewenangan itu saat ini belum bisa diterapkan. "Ada 20 aturan di laut. Ini perlu menjadi perhatian bersama," kata Djoko.