REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika presiden terpilih Joko Widodo resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, hampir dipastikan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama akan menggantikan posisinya sebagai orang nomor satu DKI.
Meski sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur dalam memimpin Jakarta, namun kedua orang ini memiliki gaya yang berbeda. Jokowi, sapaan akrab presiden terpilih itu terkenal dengan karakternya yang tegas namun kalem berbeda dengan wakilnya Basuki yang lebih ekspresif.
Selama menjalankan tugasnya selama hampir dua tahun juga, keduanya memiliki pendekatan berbeda. Jokowi dengan gaya blusukannya turun ke lapangan, sedangkan Ahok sapaan Basuki, terbiasa memantau warganya dari balik kantor dinasnya.
Gaya keduanya kerap dibanding-bandingkan untuk memimpin Jakarta, terlebih setelah Jokowi resmi terpilih sebagai presiden dan Ahok bakal menggantikannya. Sebagian kalangan menilai saat kepemimpinan Ahok nanti, mantan Bupati Belitung Timur tersebut tidak akan gemar melakukan blusukan ke wilayah DKI Jakarta.
Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna menilai perbedaan gaya kepemimpinan Ahok dengan Jokowi tidak akan menjadi kendala untuk membenahi Ibu Kota Jakarta. Dikatakan Yayat, meski tidak gemar melakukan blusukan langsung, gaya ceplas ceplos Ahok dan marah-marahnya mampu mengubah perlahan-lahan kinerja birokrasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Yayat menilai sistem di birokrasi merupakan langkah awal dari berjalannya suatu pemerintah yang baik. Sehingga, jika birokrasi tertata baik, maka pemerintah dapat menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.
"Pak Ahok itu lebih pada penataan birokrasi keliatannya, tidak ada masalah sebetulnya," kata Yayat saat dihubungi Republika, Ahad (24/8).
Dikatakan Yayat, gaya itulah yang juga diperlukan oleh seorang pemimpin agar perangkat di bawahnya terkoordinir dengan baik. Namun, pengamat jebolan Universitas Trisakti itu juga mengungkapkan perlu adanya interaksi yang baik antara pemimpin dengan warga yang dipimpinnya. Hal itu yang menurut Yayat juga perlu dipertimbangkan politisi Gerindra tersebut saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Ya enggak bisa dipaksakan karakter orang kan beda, ada yang unggul dimananya, cuma sesekali ya harus ada," kata Yayat.
Oleh karenanya, Yayat menyarankan agar Wakil Gubernur pendamping Ahok nantinya mampu melengkapi karakter Ahok seperti halnya saat Jokowi-Ahok memimpin. Yayat melanjutkan, karakter itulah yang perlu dipertimbangkan kedua partai pengusung untuk mengajukan nama-nama yang mampu menyeimbangi Ahok.
"Persoalan keserasian, wakilnya perlu yang pas, kalau Pak Ahok membangun sistem, wakilnya ya harus mampu menjembatani," kata Yayat.