REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah kalangan antara lain Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, direvisi.
Permintaan ini lahir lantaran PP, yang merupakan turunan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, menghadirkan kontroversi seputar aborsi yang diperkenankan apabila perempuan menjadi korban perkosaan.
Bagaimana tanggapan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi? Ditemui Republika selepas menghadiri pidato pengantar Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2015 di Gedung Sidang MPR/DPR/DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (15/8), Nafsiah memberikan jawabannya. "Mereka (IDI, KPAI) belum baca (PP 61/2014) barang kali. Tapi, nanti memang kami akan undang, supaya menjelaskan," ujar Nafsiah.
"Sebab itu adalah amanah UU. Disusun bersama sejak 2009 oleh kementerian/lembaga dengan melibatkan MUI, melibatkan segala. Jadi, mungkin yang ditanya kebetulan belum baca. Namun, kami tentu dengan senang hati akan mengundang mereka dan menjelaskan.
Sebenarnya tidak ada yang perlu direvisi, tidak ada yang perlu direvisi," kata Nafsiah yang sebelumnya menjadi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Selain IDI dan KPAI, Kepolisian Republik Indonesia melalui Kapolri Jenderal Sutarman menyebut PP 61/2014 bisa menjadi persoalan dan perlu didiskusikan lagi dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. "Saya kira cara-cara melegalkan aborsi akan berbahaya bagi kehidupan," kata Sutarman (Republika Jumat 15 Agustus 2014). Keengganan IDI dan pernyataan Kapolri tentu dapat berimbas kepada pelaksanaan PP 61/2014.
Sebab, dokter bertugas menangani proses kelahiran, sedangkan polisi menentukan benar atau tidaknya perkosaan dilakukan terhadap perempuan. Menanggapi kondisi tersebut, Nafsiah meyakini PP ini akan tetap berjalan. "Saya tidak percaya. IDI pasti belum baca, didadaki oleh wartawan, atau disalah kutip oleh wartawan. Saya tidak percaya IDI begitu. Kalau polisi, tadi saya bicara dengan Kapolri bahwa ada tim terpadu untuk mengatasi perkosaan."
"Atau kekerasan terhadap perempuan," kata Nafsiah. Lebih lanjut, Nafsiah kembali menjelaskan bahwa pada dasarnya aborsi dilarang UU 36/2009 dan PP 61/2014.
Aborsi dapat dilakukan jika perempuan mengalami kedaruratan medis dan menjadi korban perkosaan. "Nah itu aja dijelaskan di dalam PP supaya jangan ada salah paham. Apa sih yang dimaksud kedaruratan medis, apa sih yang dimaksud aborsi akibat perkosaan? Itu kan sudah masuk UU."