REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini tawuran antarpelajar kembali marak, bahkan hingga menelan korban tewas. Menurut Pengamat Pendidikan Dan Satriana, permasalahan ini akibat kesenjangan antara apa yang diajarkan sekolah sebagai lembaga pendidikan dengan realita dan informasi yang ditemukan siswa tidak berimbang.
“Imajinasi, fantasinya, jaringannya, serta Informasi yang didapat sebagai remaja saat ini banyak sekali, dari berbagai sumber dia bisa dapatkan. Disisi lain, remaja sebagai siswa atau sebagai anak dari orang tuanya tidak bisa mendapatkan penjelasan terhadap penjelasan terhadap realita-realita itu,” kata Satriana, baru-baru ini.
Sehingga, lanjut Satriana, kemudian mereka menjadi seperti orang yang bimbang menentukan nilai. “Kemudian dalam kekosongan nilai inilah psikis remajanya menjadi lebih menang,” katanya.
Satriana yakin tak ada satupun remaja yang sebenarnya ingin melukai orang, tapi biasanya mereka bergerak karena kelompok yang menjadi tempat berkumpulnya dibuat tersinggung. “Tetapi tidak bisa mengekspresikan dengan nilai-nilai umum, mereka hanya isa mengekspresikannya secara individu atau kelompoknya saja, tanpa melihat ada yang dirugikan atau tidak,” ungkapnya.
“Seharusnya remaja saat ini bisa melihat perbedaan yang wajar, kaya atau miskin bisa bersahabat, pasti itu yang diajarkan oleh sekolah mengenai moral,” katanya, “Tapi, ketika melangkah keluar sekolah mereka tidak melihat nilai-nilai itu diterapkan.”
Itulah yang kemudian dianggap Satriana membingungkan remaja, antara nilai-nilai yang diajarkan dengan nilai yang diterapkan sehari-hari. Akhirnya lebih banyak mereka mengadopsi nilai-nilai kelompok atau individu yang sakit tadi.
Seharusnya, lanjutnya keluarga atau sekolah seharusnya mengajarkan bagaimana menghargai perbedaan. “Buatlah kegiatan-kegiatan seperti seorang Muslim belajar besama atau bahkan menginap di rumah temannya yang non muslim,” jelasnya.
Patut dipertanyakan apakah ada orang tua atau guru mengajarkan bagaimana caranya menyeleksi informasi di internet. “Tidak ada, jadi nilai-nilai yang diajarkan itu tidak bisa langsung diperaktikkan,” ungkapnya.
Satriana juga mengatakan, guru sebagai pengajar jangan pernah menganggap anak didiknya sebagai kertas kosong yang bisa menerima apa saja kemudian langsung diterapkan. “Karena, seperti saya bilang tadi anak mampu mengakses berbagai hal yang ia inginkan saat ini.”