REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sigit Pamungkas menyatakan pembukaan kotak suara dilihat dari dimensi etik tidak melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Pernyataan tersebut disampaikannya selaku Teradu dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik yang diselenggarakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
"Pembukaan kotak suara dilihat dari dimensi etik tidak melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu," kata Sigit di Aula Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (14/8).
Sigit melanjutkan, dalam lima perkara yang disidang DKPP membahas pembukaan kotak suara yang dilakukan KPU. Tindakan tersebut dinilai tidak etik, tidak profesional, dan tidak akuntabel.
Menurut dia, tindakan tersebut jika didefinisikan secara positif akan melahirkan penjelasan yang abstrak. Namun, jika didefinisikan secara negatif, dugaan kesalahan KPU bisa dijelaskan.
Jika dengan membuka kotak suara KPU dinilai tidak etik karena tidak memiliki standar kerja, kata Sigit, bisa dilihat dalam proses pembukaan kotak suara di tingkat kabupaten/kota.
"Melalui surat edaran yang dikeluarkan KPU, ada standar kerja yang rigid," jelas Sigit.
Pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Gajah Mada itu melanjutkan, dilihat dari sisi ketransparanan, posisi KPU bisa terlihat. Saat membuka kotak suara, KPU melibatkan penyelenggara pemilu dan disaksikan banyak pihak. KPU menghadirkan saksi pasangan calon, pengawas pemilu, dan kepolisian.
"Di mana KPU melanggar definisi etis dalam konsep ketransparanan ini," ungkapnya.
Lalu, lanjut Sigit, dari segi akuntabilitas tuduhan KPU tidak bertanggung jawab juga bisa dijawab KPU. Hasil pembukaan kotak suara bisa dipertanggungjawabkan oleh KPU. Karena KPU mengambil dokumen yang diperlukan sebagai bukti untuk menghadapi sidang perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena itu, dugaan pelanggaran etik atas pembukaan kotak suara yang dilaporkan Pengadu terbantahkan. Sigit mengharapkan majelis hakim DKPP menolak permohonan Pengadu, dan menyatakan komisioner KPU tidak melanggar kode etik.