REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden terpilih, Joko Widodo, harus berhati-hati dalam mengangkat menteri di kabinetnya. Jika tidak memberikan kursi menteri kepada parpol pendukungnya, maka dipastikan parpol tersebut akan oposisi
Pengamat politik Universitas Indonesia, Agung Suprio, menyatakan sikap parpol di parlemen sangat dipengaruhi dengan kebijakan Jokowi-JK mengangkat pembantu-pembantunya. Jokowi seharusnya tidak menjadikan parpol sebagai musuh
Jika mayoritas pembantu presiden dari non parpol, maka parpol pasti akan teriak.
"Dari non parpol memang bisa efektif karena loyalitasnya hanya kepada presiden. Namun pertanyaannya apakah partai politik rela membiarkan kursi kementerian diambil oleh orang lain sementara elit parpol merasa mereka sudah berkeringat," jelas Agung, kepada Republika, Kamis (13/8).
Bisa jadi malah partai yang tidak peroleh kursi menjadi oposisi di parleman. Untuk itu memang diperlukan jalan tengah jika menterinya tetap berasal dari parpol. Waktu akan membuktikan apakah kabinet Jokowi adalah kabinet kerja atau kabinet kompromi.
Menurut Agung, menteri dari parpol minusnya adalah loyalitas lebih kepada partai politik. Lebih sempit lagi kepada elit atau ketua umum parpol. Di tambah lagi, kementerian masih dianggap oleh banyak kalangan sebagai "sapi perah" buat partai politik.
Di sisi lain, kinerja pemerintah jadi tidak efektif jika partai politik punya kepentingan yang berbeda dengan Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi dan partai pengusungnya harus konsisten terhadap agenda koalisi tanpa syarat.
Jika memang parpol ingin menempatkan orangnya untuk duduk di kabinet maka seharusnya ada dua syarat. Pertama, orang tersebut harus profesional. Kedua, harus melepaskan diri dari jabatan di partai politik.