Rabu 13 Aug 2014 23:49 WIB

Menkes: Wanita Korban Perkosaan Boleh Aborsi

Rep: C78/ Red: Erik Purnama Putra
Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi (kanan) mengunjungi pasien yang melahirkan di Puskesmas Sei Panas, Batam, Senin (23/12).
Foto: Antara
Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi (kanan) mengunjungi pasien yang melahirkan di Puskesmas Sei Panas, Batam, Senin (23/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Kesehatan Nafsiah Mboy menegaskan, pemerintah tidak pernah menelurkan Peraturan Pemerintah tentang praktik aborsi, sebab yang telah disahkan adalah PP Kesehatan Reproduksi. Dalam PP tersebut, praktik aborsi tidak dibenarkan kecuali dalam dua pengecualian.

“Tidak boleh aborsi kecuali untuk dua hal yaitu untuk kedaruratan medis misalnya nyawa ibu atau janin terancam, serta pengecualian kedua untuk korban perkosaan,” kata dia dalam acara Konferensi Pers pada Rabu (13/8).

Dikatakannya, PP merupakan amanat dari undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dalam pasal tersebut, yakni pada pasal 75 sampai 77 dikatakan, aborsi tidak dibenarkan kecuali untuk dua hal yang barusan ia sebutkan.

Dalam pengecualian pertama, yakni kondisi darurat yang membahayakan nyawa ibu ataupun janin, praktik aborsi dapat dilakukan kapan pun. Namun untuk praktik aborsi korban perkosaan, aada eberapa prosedur yang mesti ditempuh dan akan dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai respons atas PP tersebut.

Untuk wanita korban perkosaan, kata dia, aborsi harus dilakukan paling lama 40 hari pertama setelah haid terakhir. Perihal aborsi sebelum 40 hari tumbuhnya janin, lanjut Nafsiah, ia menyatakan itu bukan pembunuhan sebagaimana didasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa dalam jangka waktu tersebut, ruh belum ditiupkan ke dalam janin karena baru berupa segumpal darah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement