REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Banyak masyarakat belum memahami iklan dengan benar sehingga perlu adanya edukasi kepada perusahaan maupun pembuat iklan, ujar Dewan Periklanan Indonesia Ridwan Handoyo. "Salah satunya untuk sektor jasa keuangan, dari tahun 2009 hingga 2013 kami sudah menemukan ada 11 kasus iklan yang bermasalah," ujarnya di Semarang, Selasa (12/8).
Menurutnya permasalahan yang banyak terjadi yaitu garansi yang ditawarkan tidak jelas dan penggunaan kata superlatif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Misalnya saja penggunaan kata 'paling' dan 'ter' tanpa terlebih dahulu melakukan survei, biasanya kami memberikan teguran kepada perusahaan yang membuat iklan tetapi dalam bentuk edukasi dan sosialisasi," ujarnya.
Tujuan dari pengedukasian tersebut, yaitu agar pelaku bisnis tidak merugikan masyarakat dan tetap fokus pada manfaat yang diberikan kepada masyarakat melalui produk yang ditawarkan. "Sebagian masyarakat belum memahami literasi iklan dan mereka akan percaya begitu saja padahal belum tentu demikian, sehingga kami merasa perlu memberikan edukasi kepada perusahaan pembuat iklan maupun pemasang iklan," ujarnya.
Menurut dia, iklan perusahaan keuangan bukan merupakan iklan yang paling bermasalah jika dibandingkan iklan yang berhubungan dengan kesehatan di antaranya makanan, minuman dan rokok. "Untuk sektor-sektor ini perhatian kami lebih besar karena berhubungan dengan keselamatan masyarakat, dalam satu tahunnya rata-rata ada 100-150 kasus yang bermasalah," jelasnya.
Kebanyakan permasalahan yang ditemukan seperti halnya iklan jasa keuangan, yaitu penggunaan kata superlatif tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. "Kebanyakan kasus-kasus ini kami temukan sendiri, selanjutnya kami akan membina perusahaan iklan maupun pemasang iklan untuk lebih mempertanggungjawabkan apa yang diiklankan," katanya.