Senin 11 Aug 2014 15:44 WIB

Kubu Prabowo Nilai Jumlah DPKTb Terlalu Besar, Ini Tanggapan KPU

Rep: Ira Sasmita/ Red: Erik Purnama Putra
Kuasa hukum Prabowo-Hatta, Maqdir Ismail (tengah).
Foto: Antara
Kuasa hukum Prabowo-Hatta, Maqdir Ismail (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang ketiga perselisihan hasil pemilu presiden digelar Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda mendengarkan saksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Termohon. Sepanjang persidangan, kuasa hukum Prabowo-Hatta sebagai Pemohon banyak menanyakan perihal jumlah daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) yang dinilai terlalu besar.

Setelah saksi dari KPU Kota Batu, Kabupaten Jember, Banyuwangi, Kota Surabaya, dan KPU Jawa Timur memberikan keterangan, kuasa hukum Prabowo-Hatta Maqdir Ismail bertanya. Jumlah DPKTb dari kabupaten/kota tersebut, dan secara umum di Provinsi Jawa Timur cukup besar. Sehingga jika dibagi rata, untuk setiap TPS di Jatim terdapat empat pemiih yang menggunakan suaranya sebagai DPKTb.

"Tadi seperti dijelaskan KPU Banyuwangi, KPU Jember, KPU Jatim, jumlah pemilih yang menggunakan KTP secara umum empat orang di setiap TPS. Dijelaskan juga kalau memang ada yang memilih tidak sesuai dengan alamat domisili sesuai dengan KTP," kata Maqdir dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Senin (11/8).

Pertanyaan saksi pasangan calon nomor urut satu tentang DPKTb, menurut Maqdir, juga banyak tidak terjawab oleh KPU di tingkatan kabupaten/kota saat rekapitulasi. Lantaran untuk memastikan pemilih yang menggunakan KTP, penyelenggara harus membuka terlebih dahulu kotak suara. Sehingga keberatan saksi akhirnya hanya menjadi keberatan lisan dan catatan tertulis saat rekapitulasi berjenjang.

Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, persoalan daftar pemilih tambahan (DPTb), dan DPKTb memang paling banyak dibahas saat rekapitulasi berjenjang. Karena itu, KPU menyiapkan bukti-bukti materi melalui dokumen tertulis. Yang diperoleh melalui pembukaan kembali kotak suara.

Undang-Undang ataupun peraturan KPU, menurut Ida, tidak pernah membatasi jumlah minimal DPKTb untuk setiap TPS. DPTb dan DPKTb merupakan upaya KPU dalam mengakomodasi hak konstitusional warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bisa menggunakan hak pilihnya pada 9 Juli lalu.

"Keterangan penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota berbasis data itu terkait tuduhan jumlah DPKTb yang kemudian dinyatakan Pemohon jumlahnya besar. Kemudiaan diimajinasikan sebagai tindakan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, masif, dan merugikan pasangan calon tertentu," jelas Ida.

Meski begitu, KPU menyerahkan kepada majelis MK untuk memberikan penilaian. Trehadap nilai dan pembuktian yang dilakukan KPU. Seluruh keterangan dan bukti yang disampaikan KPU, menurutnya merupakan keterangan yang sebenar-benarnya dan diambil di bawah sumpah.

"Ini jadi wewenang MK memberi penilaian terhadap fakta-fakta," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement