REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh mengatakan PP Nomor 61/2014 tentang melegalkan praktik aborsi bagi korban pemerkosaan bukan hal baru.
"Itu kan bukan hal yang baru, PP tersebut turunan dari UU Kesehatan," ujar Niam saat dihubungi Republika, Sabtu (9/8).
Menurutnya, KPAI secara tegas menyatakan, aborsi merupakan bagian dari tindakan kriminal yang bertentangan dengan UU Perlindungan Anak dan UU Kesehatan.
"Namun ada pengecualian bagi perempuan yang mengalami kedaruratan medis dan korban perkosaan. Tetapi tetap harus dilakukan dengan syarat khusus," katanya.
Ia menjelaskan, perempuan yang menjadi korban perkosaan pada prinsipnya harus dilindungi. Aborsi bagi korban perkosaan harus dilakukan sebelum usia janin 40 hari.
Hal tersebut dikarenakan pada usia tersebut janin belum menjadi anak. "Jika dilakukan lebih dari 40 hari tidak diperkenakan oleh undang-undang dan agama" paparnya.
Ia menjelaskan, jika aborsi korban perkosaan tetap dilakukan ketika usia janin melewati 40 hari, maka dianggap melanggar UU Perlinduingan Anak.
"Secara umum UU Perlindungan Anak mengatur lingkup perlindungan yang diberikan mulai dari anak dalam kandungan sampai sebelum usia 18 tahun. Artinya melakukan tindakan sampai menghilangkan nyawa anak di dalam kandungan merupakan tindakan kriminal dan diancam UU Perlindungan Anak, KUHP dan UU Kesehatan," paparnya.
Ia menegaskan, aborsi yang dilakukan bagi korban perkosaan harus dilakukan oleh petugas medis. Juga dengan pertimbangan ahli, bukan dilakukan atas jasa ilegal.
"Jika kondisi kejiwaan korban perkosaan terganggu maka untuk perlindungan kejiwaan, aborsi dibolehkan sebelum usia janin 40 hari sejak hari pertama haid terakhir, dan secara agama juga dibenarkan," paparnya.