REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hasanuddin mengaku setuju dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 terkait aturan yang melegalkan aborsi.
Seperti diketahui sebelumnya, pada 21 Juli 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani peraturan yang melegalkan aborsi dan tertuang dalam PP Nomor 61 Tahun 2014 . PP tersebut mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan.
"Ya, saya kira kalau pertimbangan seperti itu demi menjaga psikis dan psikologi korban daripada menimbulkan efek yang tidak diinginkan," kata Hasanuddin kepada Republika, Sabtu (9/8).
Ia melanjutkan, pada dasarnya, aborsi memang haram, tapi ada kondisi-kondisi yang dibolehkan. Misalnya dalam kondisi darurat, secara medis menimbulkan cacat anaknya atau membahayakan ibunya.
"Itu dibenarkan, termasuk tadi, korban perkosaan, yang menanggung malu dan sebagainya. Itu juga termasuk yang dibolehkan," ujar Hasanudin.
Menurutnya, PP tersebut sebaiknya juga mengatur hukuman berat bagi seorang pelaku pemerkosa. Jadi tidak hanya sebatas itu pemeritah mengatur untuk korban, dari sisi penegak hukum harus ada tindakan tegas bagi pelaku."Harusnya pemerintah tak hanya satu sisi saja," tambahnya.
Dikatakannya, untuk dokter yang akan mengaborsi, harus membuktikan secara medis bahwa seseorang tersebut korban pemerkosaan dan dikuatkan dari sisi hukum bahwa dia memang korban. "Apa ciri-cirinya pasti penegak hukum tahu, yang diperkosa sama yang tidak itu harus dibuktikan dulu, ini korban perkosaan bukan," jelas Hasanudin.