REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Prabowo-Hatta mengklaim banyak kecurangan dan pelanggaran yang terjadi selama proses pemilihan presiden (pilpres). Atas dasar itu mereka mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Tim Advokasi Prabowo-Hatta, Maqdir Ismail, mengatakan, ada beberapa pelanggaran pokok yang menjadi argumentasi tim untuk menggugat hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pelanggaran itu dianggap mencederai proses demokrasi dalam pelaksanaan pilpres.
Dia menjelaskan, indikasi kecurangan yang terjadi, diduga dilakukan oleh penyelenggara secara masif, terstruktur dan sistematis. Indikasi kecurangan itu terjadi di semua provinsi tanpa terkecuali. "Pada daerah tertentu bahkan dilakukan secara sengaja," katanya di Jakarta, Rabu (6/8).
Pelanggaran yang lain, lanjut Maqdir, adalah surat suara yang digunakan jumlahnya tidak sama dengan surat suara sah ditambah dengan suara tidak sah. Artinya, ada penambahan suara kepada pasangan Jokowi-JK, sementara pasangan Prabowo-Hatta justru terjadi pengurangan.
Selain itu, Maqdir mengatakan, ada migrasi pemilih yang tidak jelas dan jumlahnya sangat signifikan. Banyak KTP palsu atau fotokopi yang digunakan untuk memilih pada pemungutan suara. Menurutnya, KTP palsu itu tidak digunakan secara fisik tapi terjadi pada level administrasi.
"Kemudian juga penggunaan hak pilih dalam DPK (Daftar Pemilih Khusus) juga tidak sama dengan DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan)," ujarnya.
Menurutnya, dari temuan yang ada, pelanggaran-pelanggaran itu merugikan pasangan Prabowo-Hatta. Dan yang lebih penting, kata dia, hal itu mencederai proses demokrasi dalam pelaksanaan pilpres karena menyangkut hak suara setiap warga negara. "Bagi kami satu atau dua orang sama dengan ratusan ribu. Karena menyangkut hak asasi," ujarnya.