Kamis 31 Jul 2014 20:17 WIB

Presiden Diminta Dorong Freeport Bangun Smelter

Ratusan pekerja tambang PT. Freeport Indonesia berkumpul di Mile 72 menunggu kepastian nasib rekan mereka yang tertimbun longsor di Terowongan Big Gossan, Tembagapura, Timika, Papua, Kamis (16/5).
Foto: Antara/Spedy Paereng
Ratusan pekerja tambang PT. Freeport Indonesia berkumpul di Mile 72 menunggu kepastian nasib rekan mereka yang tertimbun longsor di Terowongan Big Gossan, Tembagapura, Timika, Papua, Kamis (16/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA - Peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009 Pastor Jhon Jongga mengatakan Presiden RI terpilih harus mendorong PT Freeport untuk bangun pabrik Smelter di Papua.

"Presiden RI terpilih harus mendorong PT Freeport bangun Smelter di Papua. Karena dengan begitu bisa datangkan PAD bagi Provinsi Papua," kata Pastor Jhon via telepon seluler saat dikonfirmasi Antara dari Jayapura, Papua, Kamis (31/7).

Menurutnya, PT Freeport harus bisa memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat Papua bukan saja lewat dana sosial, tetapi lebih memperhatikan pemberdayaan dan keberpihakan mendirikan Smelter. "Smelter harus bangun di Papua, karena dengam begitu masyarakat setempat akan terserap untuk bekerja di dalamnya," katanya.

Tujuh suku, yang merupakan pemilik hak ulayat di Timika, Kabupaten Mimika sebagai tempat pengerukan hasil bumi harus mendapat perhatian yang besar dan nyata.

"Tidak perlu cetak suku-suku itu jadi presiden, cukup sediakan mereka tempat yang cocok dan layak dengan meningkatkan pendidikan mereka tiap tahun. Buat mereka bisa bersaing dengan saudara-saudara lainnya di nusantara, sehingga suatu saat nanti mereka bisa berdiri sejajar, mandiri dan terpenuhi ekonominya," katanya.

Freeport, kata Pastor Jhon, harus bisa memberikan keuntungan bagi masyarakat adat lewat pengerukan barang-barang tambang yang tiap tahunnya menghasilkan keuntungan berlipat ganda.

"Perusahaan yang ada di Papua salah satunya Freeport di Timika atau BP di Bintuni, atau perusahaan lain di Papua. Bukan saja dikontrol tapi diberi hak kepada para pemilik ulayat karena selama ini tidak diberi tempat dalam perundingan, MoU, atau kontrak," katanya.

Padahal, kata Pastor Jhon yang juga ketua Yayasan Teratai Hati Papua, Freeport bekerja dalam wilayah adat atau tanah di pemilik hak ulayat, hanya saja kontrak-kontraknya dilakukan di luar wilayahnya.

"Maka sekarang harus diubah, mereka-mereka yang punya tambang emas itu harus diutamakan, harus menjadi modal bersama dengan perusahaan. Dan yang penting kontrak Freeport harus dipikirkan ulang, harus melibatkan masyarakat adat, masyarakat pemilik hak ulayat menjadi pemilik modal bersama dengan Moffets atau siapa saja yang mempunyai hak di Freeport," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement