Rabu 23 Jul 2014 20:55 WIB

KPK Dalami Praktik Nepotisme Dalam Ibadah Haji

Jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami praktik nepotisme dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012-2013.

"Penyelenggaraan ibadah haji itu kental sekali muatan nepotismenya, baik nepotisme biologis dengan kroni ataupun orang-orang separtai politik. Kami ingin menelusuri sejauh mana muatan-muatan nepotisme dan kronisme mempengaruhi kebijakan-kebijakan di sektor haji sehingga menyeret mantan menteri agama sebagai tersangka," papar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di Gedung KPK Jakarta, Rabu (23/7).

Dalam perkara ini, KPK menetapkan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka dan sudah memeriksa keluarga dan orang dekat Suryadharma, antara lain istrinya, Wardhatul Asriah dan menantunya Rendhika Deniardy Harsono serta anggota Komisi X dari Fraksi PPP Reni Marlinawati. Suryadharma mengajak 34 orang untuk melakukan ibadah haji pada 2012.

"Korupsi di sektor ini sistemik dan struktural, aspek sistemik struktural ini yang ingin kami dalami, itu standar baku di KPK," tambah Busyro.

Namun Busyro belum dapat menyimpulkan bahwa keluarga Suryadharma juga dapat dikenakan sangkaan pidana. "Tergantung apakah ada dua alat bukti yang bisa ditemukan atau tidak. Tapi bisa saja, apalagi kalau penyelenggara negara, ada alat bukti yang menyertainya, tidak menutup kemungkinan, lihat saja yang Palembang, Karawang," ungap Busyro.

Meski para saksi yang mengikuti rombongan Suryadharma Ali mengaku membayar saat beribadah namun hal itu bukan berarti mereka dapat memakai jatah kursi kosong yang seharusnya digunakan oleh jemaah haji yang mengantri. "Mengapa 'seat' yang kosong tidak diberikan ke daerah-daerah untuk jemaah yang tua-tua dulu? Sistem kan sudah terkomputerisasi dalam sistem komputerisasi haji (siskohaj), sudah online jadi bisa diketahui apakah ada kursi yang kosong di daerah mana, tapi sayangnya dalam kasus ini tidak dilakukan," jelas Busyro.

Ia pun mengaku bahwa KPK tidak ragu untuk mengungkapkan praktek nepotisme itu dalam dakwaan agar publik mengetahui model pengelolaan ibadah haji dari tahun ke tahun. "Masalahnya bukan mereka sudah membayar, anggota DPR adalah perwakilan rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat, sedangkan kalau sudah ada yang bertahun-tahun daftar haji, dengan menjual sawah, kerbau atau bahkan menggadaikan alat-alat rumah tangga malah jatahnya diambil orang-orang yang punya 'priviledge' karena berasal dari satu partai atau keluarga, atau ipar, inilah yang merusak birokrasi, tegas Busyro.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement