Rabu 23 Jul 2014 08:35 WIB

Hasil Pilpres Ditolak, Kok Heboh Sih?!

Taufik Rachman
Foto: Republika/ Daan
Taufik Rachman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Taufik Rachman 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelesaikan rekapitulasi hasil pilpres 9 Juli 2014. Hasilnya, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang, karena meraup suara 70.997.833 atau 53,15 persen dari total suara sah. 

Namun menjelang pengumuman resmi KPU itu, saksi Prabowo, Rambe K. Zaman, membacakan surat yang ditandatangani Prabowo Subianto pada 22 Juli 2014 bernomor 07001/capres nomor 1/2014 tentang hal penarikan diri dari proses rekapitulasi suara Pilpres 2014. Kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyatakan menolak apa pun keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas hasil Pilpres 2014.

Rambe menyatakan bahwa kubu Prabowo-Hatta menilai Pilpres 2014 bermasalah, tidak demokratis, bertentangan dengan Undang-Undang 1945, tidak adil, tidak terbuka dan banyak aturan lain dibuat dan dilanggar KPU. Selain itu, menurut mereka, rekomendasi Bawaslu terhadap segala kelalaian dan penyimpangan di lapangan di berbagai tanah air diabaikan oleh KPU.

Di rumah Polonia, penegasan serupa datang dari pidato Prabowo. ''Kami Prabowo-Hatta akan menggunakan hak konstitusional kami yaitu menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum. Dengan demikian kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung," kata Prabowo.

Beragam pendapat kemudian muncul menyikapi pernyataan itu. Ada yang mendukung langkah yang ditempuh Prabowo, ada yang menyoal sikapnya. Ada yang menuding Prabowo inkonstitusional, tidak ksatria, tidak sportif juga tidak beretika. Di jejaring sosial aneka sumpah serapahpun bermunculan mensikapi penolakan hasil putusan KPU tadi.

Saya sendiri tidak menduga ada reaksi keras terkait dengan penolakan hasil KPU. Utamanya reaksi yang datang dari mereka yang menyebut dirinya pakar, elite politik, orang terpelajar dan sebagainya. Mengapa sikap Prabowo menolak hasil pilpres dianggap sebagai suatu aib, suatu dosa, suatu kesalahan, bahkan inkonstitusional?

Sebagai calon presiden, Prabowo tentu saja memiliki alasan dan latar belakang untuk menolak putusan itu. Di sisi lain, menolak suatu keputusan politik adalah hak setiap orang. Prabowo sendiri, tentu saja sadar apa konsekuensinya dengan penolakan itu, baik secara sosial, politik maupun hukum. 

Langkah Prabowo tidak bertentangan dengan undang undang. Bukankah keputusan KPU bisa digugat di Mahkamah Konstitusi. Mengapa keputusan Prabowo harus diributkan. Menjadi diskursus tanpa ujung, dan ujung-ujungnya hanya memanaskan suasana yang mulai mendingin saja.

Toh, lima tahun lalu pasangan Megawati-Prabowo juga menolak hasil Pilpres 2009 yang memenangkan SBY-Boediono. Penolakan juga dilakukan oleh pasangan JK-Wiranto. Baik pasangan Megawati-Prabowo maupun Jusuf Kalla-Wiranto sama-sama mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. 

Saat berlangsung Pilkada, banyak partai juga menolak hasil penghitungan suara KPU dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Pada pemilu legislatif, PDIP yang didukung 100 pengacara juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap keputusan KPU. Lalu, apakah ada yang salah dengan penolakan hasil KPU sekarang?

JK, Wiranto dan Megawati--yang sekarang satu kubu, tentu saja bisa bercerita, mengapa mereka menolak hasil KPU dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi saat itu. Tim sukses dan para pendukung Jokowi-JK, tentu saja masih ingat dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi tersebut. Bila hal serupa kembali terjadi, tentu saja bukan lagi perkara baru. Lantas mengapa menjadi heboh?

Pilpres 2014 memang berbeda dengan pilpres sebelumnya. Maklumalh pilpres kali ini menampilkan dua pasang capres-cawapres saja. Yang menarik, secara ideologis keduanya seolah berhadapan. Tak mengherankan bila eskalasi konflik diantara dua pendukung sangat tinggi. Saling menjatuhkan diantara dua kubu memang tak terelakkan.

Boleh jadi langkah Prabowo sekadar manuver politik pascakekalahan di Pilpres 2014. Namun boleh jadi apa yang dilakukan Prabowo adalah sebuah upaya menemukan kebenaran atas pelanggaran dan penyimpangan dalam pilpres 2014. Artinya ada pelanggaran dalam proses pilpres 2014 yang merugikan dirinya.

Kita tentu saja tidak bisa membenarkan atau menyalahkan langkah Prabowo itu. Hak dia untuk menolak hasil KPU. Hak dia untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Biarkanlah Mahkamah Konstitusi yang memutuskan apabila Prabowo mengajukan gugatan.

Menyoal langkah Prabowo--dengan mengabaikan hak dia sebagai capres dan ketentuan perundangan yang berlaku, hanya akan mempertontonkan kepada publik betapa runyamnya negara ini. Hukum dan perundangan bisa diterjemahkan sesuai dengan keinginan masing-masing. Semua orang bisa menjadi hakim dan leluasa menghakimi orang lain.

Lantas apakah heboh soal penolakan Prabowo merupakan pertarungan babak kedua? Dalam hal ini, pernyataan negatif atas sikapnya menjadi semacam pressure kepada Prabowo agar mau menerima hasil keputusan KPU. Sekaligus pembunuhan karakter atas dirinya?

Soal ini mari kita lihat siapa yang bersuara. Kalau masih memiliki afiliasi dengan Jokowi-JK, pernyataan negatif memang menjadi bagian dari pressure. 

Politik sering membuat kita lupa. Banyak analis dan ilmuwan yang berpihak pada suatu kepentingan dan mengutamakan kepentingan itu atas nama ilmu pengetahuan. Wajar bila ada tudingan para pakarlah yang membuat makar. 

Kita merindukan pengamat atau analis yang profesional, menunjung tinggi etika ilmu pengetahuan dan netral.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement