REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung menduga kalau desakan percepatan munas sebagai manuver Jusuf Kalla (JK). "Ada semacam kesan kalau (JK) menang (pemilu), Golkar akan diambil lagi," katanya kepada ROL, Rabu (16/7).
Ia menilai, langkah ini pernah dilakukan JK pada saat 2004. Yaitu, ketika Golkar ikut dalam kelompok oposisi Koalisi Kebangsaan bersama PDI Perjuangan.
Ketika itu, Golkar kemudian malah bergabung dengan pemerintahan setelah JK menjadi ketua umum. Kala itu, JK merupakan wapres terpilih yang menemani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Dulu dengan banyak rekayasa dan kekuatan uang, akhirnya JK jadi ketua umum. Karena posisinya juga sebagai wapres, dia punya kepentingan agar Golkar menjadi kekuatan mendukung pemerintah," papar dia.
Apalagi, kata Akbar, ketika itu JK dianggap naik ke posisi tertinggi partai tanpa kerja keras.
"Yang kerja keras kami-kami. Dia diajak SBY jadi wapres, kemudian SBY menang. Karena dia Golkar, kemudian dengan berbagai rekayasa yang ada, kekuasaan dan uang, menang dia jadi ketua umum. Kemudian diubah Golkar jadi pendukung pemerintah," paparnya.
Ia melihat, pola itu akan kembali digunakan tahun ini. Yaitu, jika Joko Widodo-JK menang pemilu dan Koalisi Merah Putih gagal mengawal Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai presiden-wapres.
Apalagi, katanya, desakan percepatan munas kali ini dilakukan oleh orang-orang yang selama ini memang dikenal dekat dengan JK. Bahkan, sudah menyatakan dukungan terbuka untuk pemenangan Jokowi-JK.
"Orang-orang itu memang selama ini dikenal dekat dengan JK," katanya.
Sebelumnya, kader Partai Golkar meminta adanya percepatan munas. Mereka juga mendesak Aburizal Bakrie (Ical) untuk segera turun dari posisi ketua umum.
Desakan itu antara lain disampaikan oleh Fahmi Idris, Ginandjar Kartasasmita, dan Indra J Piliang.